Tiga

2 2 3
                                    

Bisikan orang sekitar terdengar baik di telinga Belva, tapi ia tak khawatir akan hal itu. Toh hal yang sebenarnya yang terjadi tidak seperti itu.

Jari jemari Belva menyatu dengan jemari milik Arga menyusun kepingan puzzel kebahagiaan yang membuat Belva lupa seketika dengan segala masalah hidupnya.

"Cih, gak tau malu emang lo. Udah ciuman di depan umum, masih aja tetep pacaran sama Arga, pake genggaman tangan segala macam lagi."

Entah datang dari mana, Kanya langsung asal nyerocos tidak suka dengan Belva.

"Gak usah sok tau deh lu kalau gak tau kejadian yang sebenernya."

"Cewek kayak gini di bela? Cih, gak sudi gue."

Emosi Arga mulai memuncak. Hampir saja satu pukulan mendarat di pipi Kanya, untungnya Belva berhasil menahannya.

"Apa?! Lo mau mukul gue? Sini pukul!"

"Udah Ga, udah. Aku gak pa-pa," Lirih Belva

"Ga guna ladenin cewek gatel kek lo!"

Belva membawa Arga pergi jauh jauh dari Kanya kalau tidak, bisa-bisa tuh cewek tadi bakalan habis di tangan Arga.

"Aku balik ke kelas dulu ya, lain kali jangan suka emosi dadakan kayak tadi." Pamit Belva

"Kamu kalau ada yang apa apain, bilang aku aja. Aku gak suka kalau kamu diremehin kayak tadi." Ucap cowok itu sambil mengusap lembut pipi Belva dan men-trasnfer kehangatan hingga membuat pipi cewek rambut sebahu itu merah seperti kepiting rebus, antara malu dan hangat beradu jadi satu.

"Iya, kamu sana gih ke kelas."

"Iya ini aku kekelas, dadah bunny."

Belva hanya memandangi punggung cowok itu hingga akhirnya menghilang tertelan oleh jarak.

Bel masuk berbunyi, hari ini ibu Faridah masuk mengajar matematika. Pelajaran yang paling dibenci oleh banyak siswa. Pelajarannya sungguh membosankan, ditambah lagi dengan cara gurunya menjelaskan yang bisa dibilang terlalu lama. Maklum, umur beliau sudah 60 an.

Kelas menjadi hening ketika beliau menjelaskan dengan saksama. Bukan karna memperhatikan, bisa kategorikan 90% tidur dan 10% persen yang terdiri dari orang-orang pintar memperhatikan penjelasan yang sangat membosankan itu.

"Bu, izin ke toilet."

Setelah dapat anggukan dari bu Faridah, Belva langsung meluncur ke toilet cewek yang tempatnya berada disamping parkiran, belakang sekolah.

"Bu, saya juga."

Ibu Faridah kembali mengangguk dan membiarkan Kanya pergi. Tapi ini adalah sebuah bencana! Belva akan mati kalau sampai Kanya bertemu dengannya, apalagi di toilet. Karna jarang sekali ada yang pergi ke toilet pada jam pelajaran. Kecuali pelajaran ibu Faridah, karna beliau tidak ingin anak anak itu ribut karna menahan sesuatu jadi beliau mengiyakan saja kalau ada anak muridnya yang ingin keluar.

"Sini lo!" Kanya menarik kasar pergelangan tangan Belva dan mendorongnya hingga berbenturan ditembok.

"Lo itu gak pantes sekolah disini! Lo itu cantik aja enggak, apalagi pinter, masih aja ngebet bertahan disekolah ini." Kanya memaki Belva.

Belva yang mendapat perlakuan seperti itu tidak ingin tinggal diam.

"Kata siapa gue gak cantik?" Ujar Belva meremehkan.

"Ooh, jadi lu sekarang merasa kecakepan ya?!"

"Tentu. Buktinya aja Arga jadi pacar gue, padahal kan lu suka sama dia."

Mendapat serangan yang menusuk dari Belva membuat amarahnya memuncak dan hampir saja menjambak rambut Belva, tapi Belva dengan sigap menahan tangannya.

"Gak usah main fisik, adu mulut aja lu kalah sama gue."

Di tepis kasar tangan Kanya dan menyenggol bahunya lalu meninggalkan Kanya sendirian dengan amarahnya.

"Awas aja lo, gue bakal balas!" Desisnya setelah punggung milik Belva sudah tidak terlihat.

***

Bel istirahat berbunyi, seluruh siswa berhamburan keluar mencoba mencari sebuah 'kehidupan' apalagi kalau bukan makanan. Dalam hitungan detik kantin mulai dipenuhi siswa yang berdesakan.

Berbeda dengan Belva yang lebih memilih untuk bertengger di perpustakaan sekolah dan ditemani oleh Arga, alasannya karna akan ada ulangan harian setelah masuk.

Arga menatap lekat bentuk wajah kekasihnya. Alis yang lumayan tebal, mata bulat dengan iris hitam pekatnya, hidung yang berdiri tegak dan lekuk bibir yang indah. Mata Arga masih menatap lekat Belva, perlahan ia mulai menipiskan jarak diantara keduanya.

"Ar?"

Arga yang di panggil namanya langsung tersadar dari lamunannya dan mulai menjauhkan wajahnya yang tadinya sudah menipis.

"Ah... ekhmm... " cengo Arga.

"Aku lapar, Bel."  ujar Arga lagi.

Seakan peka dengan perkataan kekasihnya, Belva langsung berdiri dan pergi ke kantin untuk membelikan Arga beberapa roti dan air mineral.

Setelah membeli roti dan air mineral, Belva kembali ke perpustakaan. Namun, ia tak melihat Arga di tempatnya tadi.

Kemana dia?

Belva mencari Arga di kelasnya tapi nihil. Arga tidak ada di kelasnya, terpaksa Belva kembali di kelasnya dan memakan rotinya sendiri karna sebentar lagi bel masuk bunyi.

Belva menghela kasar nafas dan duduk di bangkunya, mengeluarkan buku dan pulpen untuk bersiap ulangan harian.

Saat membuka tasnya, dia menemukan kertas yang terikat. Saat di buka ia mendapati sebuah tulisan peringatan.

Lo harus mati!

***
Hai hai!
Gimana nih di chapter ini?
Ada penasaran gak?
Duh, tunggu di next chapter ya!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ein WunderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang