23 • The Pain

1.9K 340 98
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Seungcheol

Dulu, ketika aku dan Jeonghan baru pertama kali bertemu di ruang latihan, aku menganggapnya sebagai pribadi yang sangat pasif saat berkumpul dengan anggota lainnya. Aku memahami bahwa dia datang disaat hampir seluruh anggota sudah membangun jalinan pertemanan yang mulai tumbuh erat. Seiring berjalannya waktu, ketika kami perlahan-lahan menunjukkan kemajuan untuk mimpi yang ingin kami raih bersama, sifat itu berubah dan berganti menjadi Jeonghan yang selalu mendengarkan keluh-kesah anggota lainnya. Tapi di beberapa waktu, terkadang dia lupa bahwa dirinya juga memiliki masalah.

Aku cukup lama memperhatikannya yang memilih untuk diam menyendiri di kamar hotel dengan secangkir cokelat panas yang mengepul. Dia memandang cahaya lampu kota di balik jendela kaca di lantai dua puluh lima, bersamaku yang menatapnya dengan tatapan penuh tanya di atas tempat tidur. Konser sudah selesai dua jam yang lalu, besok kami terbang menuju Singapore saat sore hari. Harusnya dia beristirahat, merebahkan diri meskipun matanya tak terpejam untuk mengurangi kelelahan yang ia tahan. Tapi tidak, menyuruhnya pun kurasa akan sia-sia saja.

Kemarin aku sudah bersiap-siap keluar, hendak mencari Hye Jin yang tiba-tiba menghilang entah kemana. Tapi dia datang ketika aku sudah berada di ambang pintu masuk hotel dengan wajah sendu ─bahkan dia tak menyadari aku yang berdiri di dekatnya, entah sengaja atau tidak. Kupikir saat itu tengah terjadi masalah diantara mereka berdua, pasalnya Jeonghan juga tak menunjukkan keadaan yang lebih baik. Tapi apa?



"Kau sudah berdiri disana selama setengah jam lebih," ujarku, mencoba membuka pembicaraan agar aku bisa tahu apa isi pikirannya. "Tak ingin tidur?"

Aku benar-benar tidak tahu apa yang tengah Jeonghan dan Hye Jin alami. Bukankah semua sudah baik-baik saja saat ini? Tapi itu salah. Kini aku sadar ketika aku menganggap semuanya mulai membaik, kenyataannya selalu ada masalah lain yang terselip. Aku benci ketika aku menjadi pihak yang tak tahu apa yang terjadi. Dan jika aku diberikan pilihan, aku lebih memilih mengetahui bahwa mereka saling menyimpan rasa daripada melihat mereka terlibat dalam perang dingin yang tak kuketahui penyebabnya.

"Seungcheol," tukasnya pelan. "Aku menyukai Hye Jin."

"Aku tahu." Entah apa maksudnya berkata demikian, aku mencoba lebih rileks agar aku bisa mengikuti arah pembicaraannya.

"Tapi dalam waktu yang sama, aku melihat Eunjin dalam dirinya."

Eunjin? Bukankah itu teman kecil Jeonghan yang sering ia sebut ketika akan berlibur ke rumahnya?

"Apa Eunjin tak pernah mengirimkan pesan atau apapun padamu selama ini?" Hembusan napas kasar Jeonghan terdengar kentara, menciptakan warna abu yang tercetak jelas di kaca yang ada di hadapannya.

Mungkin malam ini menjadi malam terpanjang yang aku rasakan ─begitu pula dengan Jeonghan. Tubuhnya yang meringkuk di dalam selimut memberikan tanda bahwa ia tengah gelisah. Mulut Jeonghan masih tak berhenti bicara sejak ia menempatkan gelas cokelat panasnya di atas nakas ─tak terminum. Matanya menatap nyalang ke arah dinding polos bercat putih tulang ─tak terbaca dan terlihat pilu.

SKETCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang