28 • Moon and Stars

2K 338 38
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Hye Jin



Mata ituㅡaku selalu suka menatapnya bahkan ketika kelopaknya tertutup. Bulu matanya juga lentik dan aku bertaruh ada jutaan wanita di luar sana yang mati-matian ingin mendapatkan hal serupa dengan datang ke salon kecantikan. Bibirnyaㅡselalu menjadi sumber tawa yang menenangkan. Aku tak perlu pergi jauh untuk menemukan sebuah obat untuk pereda stres maupun mengenai masalah yang kuhadapi, hanya dengan berbincang ringan nyatanya ampuh untuk mengisi energiku kembali.

Jarum jam masih bergulir dengan pelanㅡseolah berhenti. Keramaian yang terjadi merupakan pertanda yang baik, semua kursi telah terpenuhi. Mugkin beberapa menit lagi keadaan akan semakin menggila dengan teriakan yang menyerukan kekaguman dan antusiasme yang tinggi.

Di ujung sana, aku bisa melihat bagaimana staf sibuk untuk mengurus keperluan panggung. Properti masih berserakan dimana-mana dan mereka harus menyelesaikannya dalam kurun waktu yang sedikit selama jeda iklan yang berlangsung di layar LED panggung. Dengan mengukir senyum, aku bicara dalam benak.

Aku rindu pekerjaanku yang dulu.

Dari balik tirai hitam, kepala seseorang menyembul tanpa alasan dan itu jelas menyebabkan keriuhan terdengar sangat keras. Sedikit menyesal karena aku harus meninggalkan acara komunitas seni pekan ini dan berbohong pada temanku bahwa aku mengikuti acara lain sehingga mengambil cuti. Padahal aku ada disiniㅡfestival musik.

Lucunya, aku datang kemari tanpa uang sepeserpun padahal tiket masuk bisa dikategorikan mahal dan pernak-pernik yang ada di pangkuanku juga tidak sedikit jumlahnya. Aku senang, tapi aku juga merasa punya beban berat. Terutama ketika pria yang menyembulkan kepalanya di balik tirai itu kini tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

Bukankah dia terlalu indah?

Aku mendapatkan hobiku kembali yang dulu sempat hilang karena aku yang memaksakan diri untuk berhenti. Hanya tinggal satu lembar yang tersisa di buku sketsa biru ini, yang mana eksistensinya sudah tak pernah hadir menemani beberapa tahun terakhir. Dia menuliskan banyak hal di sisa lembaran yang kosong, coretan kalimatㅡmungkin lirik lagu dan gambar acak yang tidak terbentuk gambarnya. Jika dia orang lain, pasti aku sudah marah karena mataku terasa geli ketika melihat itu penuh dengan tulisan yang jauh dari estetik.

Hingga malam menjelang, riuh penonton masih belum usai. Aku masih memperhatikan bagaimana Seungcheol tampil bersama teman-temannya dengan ikut mengangkat pernak-pernik yang sudah ia belikan kemarinㅡtermasuk tiket masuk. Dia juga membuka pembicaraan tentang bagaimana bodohnya dia memposting foto yang membuat media sosial heboh.

Aku sempat mengira itu postingan tentang perempuan dan semacamnyaㅡternyata bukan.

Dan seiring waktu berlalu, aku benar-benar menyadari arti dari semua rasa yang muncul secara terlambat. Seungcheol menyanyi disana, dengan tata cahaya panggung yang mulai menyorot tubuhnya ketika bagiannya tiba. Dia bersinar begitu terang, ditambah lampu bagian penonton sebagian sudah dimatikan untuk keperluan lagu yang tengah terputar.



SKETCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang