A Whiskey Called You

1.4K 133 55
                                    

"Aku menyukai matamu."

Ya. Eren menyukai matanya. Levi tidak berbohong. Justru saat ini, wewarna itu kian indah dan beragam. Menjadi sebuah kesatuan, membentuk gradasi yang memberi kesan abstrak. Semuanya berbenturan, melebur satu sama lain.

Tidak, Eren meralat. Ia menyukai penglihatannya sekarang.

.

.

Tengah malam. Perut seorang pemuda bersurai brunet bergemuruh, membuat ia langsung terjaga. Hendak berapa kali mata ingin terpejam, tetap saja bunyi rusuh dalam pencernaannya tak mau diam. Sebab itu, dengan menyeret langkah, Eren beranjak menuju dapur. Mencari sesuatu yang dapat membungkam lambungnya.

Sepanjang mata memandang, koridor markas Pasukan Pengintai begitu gelap dan hening. Tiada suara selain tapak kaki Eren yang menggema kecil. Udara malam yang larut menusuk kulit, menyadarkan pria tersebut bahwa malam ini telah memasuki musim dingin. Salah satu jendela lorong mendapat perhatian Eren sebab di luar sana, titik-titik putih bergulir dari langit kelam.

Obor yang menjadi sumber penerangan lorong tak banyak membantu dalam menghangatkan. Eren memeluk dirinya sendiri. Dalam hati merutuk atas kecerobohannya tak memakai jaket dan membawa lampu minyak. Walau begitu, ia terus menyusuri sampai menemukan dapur dengan lampu menyala.

Eren melongok. Penglihatannya menyipit sejenak, mendapat pasokan cahaya secara tiba-tiba membuat netranya sedikit sakit. Ia berjalan memasuki dapur pelan-pelan, mendekati sosok yang membelakanginya di depan kompor.

"Eren?"

Efek berbalik bagai bumerang. Justru Eren yang terkejut, ditambah saat kepala bersurai hitam itu menoleh.

"Hei ... chou." Eren balas menyapa.

Levi mengernyit. Sapaan Eren yang terdengar sangsi membuatnya bingung. "Kenapa belum tidur?"

"Anu, saya kelaparan," jawab Eren seraya mendekati kulkas, "jadi saya mau masak dan makan sebentar."

"Tidak perlu. Aku sudah menghangatkan sup jagung," sela Levi seraya mematikan api.

.

Eren menangkupkan kedua telapak tangan di badan mangkuk. Ia bernapas lega. Baik dalam maupun luar tubuhnya terasa hangat.

"Heichou ... baru pulang?" Eren membuka konversasi.

Levi mengangguk. "Seharusnya rapat selesai pukul sebelas, tapi mereka sama sekali tidak mengakhirinya. Kalau Erwin dan Hange tidak ikut campur, perdebatan para babi itu tak akan selesai."

Eren manggut-manggut. Suasana hati Levi sedang buruk, jadi ia tak berani menyahut macam-macam.

"Meski begitu, syukurlah Anda bisa ... pulang lebih cepat," ucap Eren seadanya, mengakhiri pembicaraan.

Senyap. Eren telah melahap beberapa sendok sup jagung tanpa berani menatap sang kapten di depannya. Ia merasa aneh karena kini, pria tersebut tengah mengamati gerak-geriknya. Setiap suapan yang masuk. Setiap kunyah per detik. Setiap lumatan yang menggesek dinding-dinding kerongkongan. Tatap tajam itu membuat Eren nyaris tersedak.

"Tak usah buru-buru. Aku tidak meninggalkanmu."

Eren mengangguk kecil, semakin lama semakin tertunduk. Kata-kata yang diucapkan terdengar manis dan menghangatkan kedua pipi Eren.

Di sisi lain, ia jadi tak enak. Kaptennya baru saja pulang, letih karena masalah pekerjaan, dan sekarang harus menungguinya yang kelaparan tengah malam? Eren merasa telah menjadi bawahan yang kurang ajar.

"Maafkan saya, Heichou. Seharusnya tadi saya menunggu dan memanaskan sup untuk Anda tadi."

Levi menggeleng. "Tak perlu. Aku sudah makan malam."

A Whisky Called YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang