4 - Wasiat?

4 1 0
                                    

-Zeevanya POV-

Sekarang aku sedang berada di kamar papa dan mama. Berdiri di depan sebuah lemari kaca yang menggantung seragam loreng papa, dengan beberapa aksesoris tambahan pelengkap seragamnya. Papa bilang itu adalah baju kebesarannya, baju pertamanya ketika dulu pertama kali menjadi prajurit setelah pelantikan dengan pangkat Letnan Dua. Seragam itulah awal mulanya karir papaku sebagai abdi negara ini.

Aku mengalihkan pandanganku ke setiap sudut ruangan ini. Aku menghampiri meja rias yang dulu biasa dipakai mama. Di atasnya masih tertata beberapa skincare yang dulu biasa mama pakai dengan bungkusan berbahan plastik yang biasa mama bawa kemana-mana.

Aku membuka lacinya, disana masih kulihat beberapa aksesoris perhiasan mama yang biasa dipakainya ketika ada sebuah acara atau pertemuan. Seketika mataku panas, aku menahan tangisanku. Aku kembali mengingat mama. Segera kututup kembali laci itu, aku tidak mau berlanjut karena takut tangisanku akan meluncur sempurna.

Segera setelah kututup laci itu, aku keluar dari kamar papa dan bergegas ke ruang tv menemui Zahra. Sampai di ruang tv aku langsung duduk di sebelah Zahra dan memeluknya dari samping. Dan akhirnya aku tak kuasa menahan tangisku, jadilah aku menangis di pelukan Zahra.

Zahra membalas memelukku dan mengusap punggungku. Setelah beberapa waktu aku akhirnya tenang kembali, Zahra mengurai pelukan kami. "Teteh kenapa nangis?" Tanyanya.

"Teteh kangen mama, Ra." Jawabku. "Teteh juga engga mau kehilangan papa. Teteh mau papa tetep bareng-bareng sama kita." Tambahku.

Seketika itu juga tangis Rara pecah dan kembali memelukku. Kami kembali berpelukan dan menangis. Tak lama aku dan Zahra melepas pelukan dan sama sama meredakan tangis. Setelah reda tangisku, aku sengaja melontarkan candaan kepada Zahra setelah melihatnya.

"Ra, ihh, meuni goreng pisan (aduh jelek banget), itu beleknya masih ada. Belum mandi ya?" Candaku sambil menunjuk-nunjuk ke matanya ketika dia masih menghapus bekas air matanya.

Dia segera mengelap seluruh bagian matanya dan aku jadi tertawa melihatnya. Zahra yang merasa aku bohongi langsung mendumel, "ihh teteh jahat banget Rara malah dikerjain."

"Abisnya kamu percaya aja sih." Ejekku menjulurkan lidah dan berdiri bersiap kabur darinya.

"Ihh teteh rese! Awas ya teh kena nih teteh sama Rara!" Ancamnya yang langsung berdiri mengejarku. Aku berlari ke arah dapur mengelilingi meja makan dan kemudian berlari menuju ke depan rumah. Sebelum sampai ke pintu rumah, dari arah ruang kerja papa aku mendengar suara Bi Sari memanggilku dan Zahra.

Bi Sari muncul dari arah belakang dengan sebuah amplop coklat besar di tangannya. Aku dan Zahra menghentikan aksi kejar-kejaran kami di ruang tamu. Bi Sari segera menyerahkan amplop tadi kepadaku. Aku meraihnya sambil menatap Bi Sari meminta penjelasan.

"Coba teteh baca isinya deh." Pintanya. Aku melihat amplop tersebut, ada tulisan 'SURAT PENTING KELUARGA (WASIAT)' di kedua sisi amplop tersebut. Kemudian aku membalikkan amplop tersebut untuk membuka kaitan penutupnya. Saat akan membukanya terdengar suara ketukan dari pintu rumah.

Tokk... Tokk... Tokk...

"Assalamu'alaikum." Salam seseorang dari luar.

Aku yang berada di dekat pintu langsung membukanya. "Waalaikumsalam." Jawabku, Zahra dan Bi Sari serentak. "Masuk Om." Lanjutku.

"Jendral sudah siuman." Beritahunya dengan wajah senang. Kami yang mendengar kabar papa sudah sadar langsung mengucap syukur dan merasa senang. Setelah dua bulan berlalu dengan papa yang terus menerus menunjukkan tanda-tanda akan kesadarannya akhirnya benar-benar tersadar.

Aku langsung memeluk Zahra. Zahra membalas pelukanku dan kemudian Bi Sari ikut memelukku juga. Setelahnya kami mengurai pelukan dan aku langsung berlari ke kamarku mengganti pakaianku dan meletakkan amplop tadi di laci meja belajarku.

Setelah beberapa menit aku keluar kamar dan keluar rumah, disana terlihat Om Vieto menunggu di depan rumah dengan sebuah mobil Pajero hitam miliknya. Tak lama Bi Sari dan Zahra keluar dengan pakaian yang berbeda dari yang tadi. Kami pun masuk ke mobil dan bergegas ke rumah sakit.

Di jalan aku berulang kali mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa, karena telah menyelamatkan papa dan mengembalikan papa ke tengah-tengah kami. Wajah kami yang berada di dalam mobil terlihat begitu bahagia dengan kabar ini. Walaupun bermacet ria dengan jalanan tapi tidak menyurutkan wajah bahagiaku, memang hari ini hari libur dan siang adalah waktunya penuh jalanan dengan kendaraan.

Setelah beberapa lama bermacet-macetan, kami sampai di rumah sakit. Kami langsung menuju kamar papa di ruang ICU. Tapi di sana ternyata di sana sudah tidak ada orang. Aku segera ke pos jaga perawat.

"Sus, pasien atas nama Bapak Arvanio kok engga ada di ruangan ya?" Tanyaku terheran.

"Oh, sudah dipindahkan ke ruang VVIP 02 tadi, mba." Jawabnya.

"Terima kasih ya, sus."

Kami segera ke ruangan yang disebutkan tadi. Dan benar, di depan pintunya ada dua orang berseragam loreng yang menjaga. Kami segera masuk ke ruangan setelah Om Vieto menyapa kedua prajurit tadi.

Di dalam aku menemukan papa sedang asik berbicara dengan Om Ibrahim, pengacara Keluarga Dinata. Kami mengucapkan salam kepada keduanya.

"Assalamu'alaikum pa, Om." Salamku dan Zahra.

"Assalamu'alaikum." Salam Bi Sari dan Om Vieto.

"Waalaikumsalam." Jawab keduanya. Aku dan Zahra langsung menghambur memeluk papa di kedua sisinya.

"Cepet juga gerakmu, Ken." Ucap Om Ibrahim kepada Om Vieto yang terdengar olehku. Setelah aku tidak mendengar apapun lagi dari mulut Om Vieto dan tidak melihatnya. Yang menjadi fokusku saat ini papa.

Tak lama Om Vieto, Om Ibrahim dan Bi Sari keluar dari ruangan. Mungkin mereka mau memberi kami waktu, ucapku dalam hati. "Pa, jangan sakit lagi ya. Papa cepet sembuh lagi ya, pa." Ucap Zahra membuka suara.

"Iya, pa jangan tinggalin lagi teteh sama Zahra pa. Kita engga mau kehilangan lagi pa." Kataku menimpali.

"Iya, papa kan sayang sama teteh sama Rara." Ucapnya seraya tangannya mengusap punggung kami yang sejak tadi telah memeluk kami.

"Kita juga sayang papa." Ujar kami bersamaan seraya mencium kedua pipi papa. Papa membalasnya dengan mengeratkan pelukan tangannya kepada kami.

Setelah beberapa lama, papa dan kami mengurai pelukan. Aku langsung duduk di kursi yang berada di samping tempatku berdiri tadi dan Rara duduk di seberangku di sisi papa.

Aku melihat ke atas lemari kecil di samping brankar papa, disana ada sebuah tempat makan yang masih utuh isinya yang kuyakini dari rumah sakit dan beberapa parcel buah serta beberapa botol air minum.

"Papa udah makan?" Tanyaku membuka keheningan.

"Belum."

"Papa makan ya, teteh suapin." Ajakku dan membantu menaikkan sedikit tempat tidur papa agar memudahkannya makan siang ini.

Papa mengangguk dan Zahra membantu papa mengubah posisi papa menjadi setengah duduk setelah aku mengubah posisi tempat tidurnya. Aku mulai menyuapi papa makan dan sesekali memberinya minum. Setelah selesai, aku mencuci tanganku dan kembali duduk dekat papa.

"Teteh udah baca surat wasiat papa?" Tanya papa ketika aku akan duduk.

"Surat wasiat?" Tanyaku membeo.

"Iya, yang di amplop coklat di laci meja kerja papa." Jelasnya.

"Oh yang tadi ditemuin sama Bibi? Belum pa, emang kenapa?"

"Udah baca isinya?"

"Belum, tadi baru mau buka terus Om Vieto dateng kasih kabar katanya papa sadar, yaudah kita langsung ke sini."

"Yaudah nanti pulang dibaca ya, kalau ada yang engga teteh ngerti tanyain ke papa atau Om Ibrahim ya." Jawabnya.

Aku mengerutkan kening, surat wasiat? Bukannya itu untuk orang yang sudah meninggal ya? Apa papa mau menandakan sebentar lagi akan meninggalkan kami? Batinku bertanya.




TBC...

Hayooo... Tandanya apa yaaa?

Our LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang