✝
Sudah beberapa hari aku tidak menyentuh Alkitab dan berhenti berdoa.
Bahkan meja yang dulu penuh dengan kertas hasil penelitian pun dikosongkan olehku karena merasa terganggu.
Terkadang, aku akan menggendong Irene naik ke atas meja itu untuk memudahkanku bercium dengannya.
Ketika memeluk Irene untuk tidur pada malam hari, aku akan menertawakan diriku sendiri. Diriku sungguh orang yang tidak memiliki iman sama sekali, bisa-bisa tergoda secepat itu. Tetapi pikir seperti ini, rasa bersalah juga bertambah. Setelah itu, aku masih tetap mendekati orang yang berada di pelukanku.
Setelah menghabiskan beberapa hari yang damai, tanggung jawab berkhotbah dan larangan-larangan telah kubuang semuanya. Ayah Irene juga seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan berita tentang mencari anak putrinya pun tidak ada. Karena sudah memberitahu keluarga terlebih dahulu bahwa aku ingin menutup loteng gereja untuk berelasi dengan Bapa, mereka juga tidak berani datang mengganggu, tak mudah aku bisa menikmati hari-hari yang bebas.
Tetapi ketika malam hari saat aku keluar untuk membeli roti, aku terus memikirkan masa depan, tidak boleh seperti ini terus.
Jika mengatakan kepada orang tua kalau aku ingin pergi ke luar untuk berkhotbah seperti Ayah dulu, apakah aku akan mendapat persetujuan? Kalau begitu, mungkin aku bisa terbebas dari semua ini.
Aku membawa roti dan pulang, memikir nanti harus tanya pendapat Irene terlebih dahulu, baru memutuskan masalah berikutnya.
Tetapi sebelum aku tiba di gereja, pintu tidak tahu sejak kapan sudah dibuka. Aku ingat dengan jelas sebelum keluar aku sudan menutup pintu dengan rapat, saat-saat seperti ini tidak mungkin ada orang yang datang, Irene juga tidak mungkin sebodoh itu sampai keluar.
Dengan pikiran yang kacau, aku terus berdoa agar Irene baik-baik saja. Aku buru-buru mendorong pintu, tetapi pemandangan di depan mata membuatku kehilangan kendali.
Di bawah salib yang biasanya aku berkhotbah, Ayah Irene sedang mengepalkan tangan dan meninjunya. Irene sedang jongkok di bawah, melindungi kepala dengan tangan, dan dia sudah terbiasa untuk tidak menangis.
Aku langsung melempar roti itu ke tanah dan berlari sekencang mungkin. Perjalanan ini masih ada jarak tertentu, aku mendengar hinaan iblis itu semakin jelas.
"Setelah Ibumu mati, kau juga sudah tidak mau aku hidup?!"
"Dasar anak brengsek, lihat kamu masih ada hubungan darah dengaku, terpaksa aku tidak menjualmu, sekarang kau berani-berani melarikan diri?"
"Pakai wajahmu itu menggantikan uang untuk Ayah, gimana? Ah? Ayah sudah membesarkanmu selama bertahun-tahun!"Semakin bicara semakin marah, karena merasa hanya tinju saja tidak cukup, dia mengangkat kakinya dan menginjak tubuh Irene. Ketika dia menarik rambut Irene dan ingin melemparnya ke tanah, akhirnya aku sampai di belakangnya, dia sama sekali tidak sadar ada satu orang sedang berdiri di belakangnya. Tidak ada waktu luang untuk berpikir, aku mengambil botol kaca di tanah dan langsung melempar ke kepalanya.
Kaca itu pecah, dia pun jatuh ke bawah. Aku tidak ada waktu untuk mengatur napas. Jika membiarkannya begitu saja, yang ditunggu Irene pasti hanya ada neraka yang tak berujung. Pandanganku berhenti di atas dinding, di sana tergantung sebuah pisau untuk memotong daging kurban. Sebelum pikiran mencapai, badanku sudah bereaksi terlebih dahulu. Aku mengeluarkan pisau dari sarung, dan mengeluarkan seluruh tenagaku menusuk pisau itu ke dalam jantungnya.
Darah menyembur keluar dan memercik di wajahku, lantai dengan cepat dikotori oleh darah.
Saat ini aku baru sadar betapa rapuhnya nyawa manusia.