2.

2.2K 200 15
                                    

Kelompok koor masih bernyanyi di depan, tetapi aku di belakang terus gemetaran karena gugup, hampir saja tidak bisa berdiri.

Ayahku menyadarinya, dengan cepat menggenggam tangan kananku, meletakkan tangan kanannya di atas dahiku, dan terus berdoa untukku.

Beliau berkata, semoga Tuhan akan bersama anak kesayangannya, memberkatinya agar semua akan berjalan dengan lancar di sisa waktu.

Aku mejawabnya, Amin. Seolah-olah ada sinar yang menyinariku, menghilangkan rasa takut dan khawatir.

Ketika aku berdiri di atas mimbar, ibu-ibu yang bertugas koor sudah kembali ke tempat duduk masing-masing. Ibuku duduk di paling depan, menatapku dengan penuh harapan. Seperti saat latihan, meletakkan Alkitab di atas mimbar. Aku berusaha bisa senatural mungkin, menghindari tatapan-tatapan panas, mulai berbicara.

Pemandangan di atas mimbar lebih luas dari biasanya. Ruang dalam gereja juga tidak terlalu besar, bahkan aku bisa melihat wajah umat di barisan terakhir dengan jelas. Seiring suara musik, orang-orang melebarkan lengan di bawah bimbingan, seperti memeluk langit, menerima kedatangan Roh Kudus. Mereka memejamkan mata dan terus mengucapkan doa tanpa henti.

Pada saat ini, aku melihat seorang wanita asing yang duduk di pojok, setidaknya selama misa tahun-tahun ini aku tidak pernah melihatnya. Berbeda dengan kegembiraan orang-orang di sekitarnya, dia hanya diam, sebagian wajahnya ditutupi plester, tapi wajahnya yang pucat tidak bisa menutupi kecantikannya.

Dia juga memperhatikanku, tidak menunjukkan kekejutan apa pun, hanya memberiku seulas senyum. Seketika aku merasa sinar matahari yang masuk dari luar bertuju padanya, bahkan lebih bersinar daripada foto Santa Maria di dinding kamarku. Salib perak di depan dada menempel pada kulit, kian menjadi panas, panasnya menyebar dari dada ke atas, membuat otakku juga ikut memanas, pikiranku kehilangan kendali.

Hingga musik berhenti, aku baru bangun dari pikiranku.

Ini tidak seperti jalan yang telah ditentukan sebelumnya.

***

"…Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin."

Setelah doa Bapa Kami selesai, para ibu-ibu mengambil tas dan bergegas pulang untuk menyiapkan makan siang, termasuk Ibuku juga. Ayahku juga pergi dengan alasan mau membantu. Umat yang tersisa tiba-tiba datang serempak, mengatakan apa yang mereka butuhkan. Suara-suara itu terdengar berisik, seketika aku tidak bisa membedakan suara mana yang datang dari orang yang mana, hanya bisa melambaikan tangan untuk menenangkan mereka dulu.

Tidak tahu setelah berapa lama, akhirnya orang-orang sudah pergi semua. Aku berencana untuk membereskan barang dan langsung pulang. Tapi perempuan itu masih duduk di sana dengan posisi yang sama melihat ke arahku, seolah-olah sedang menungguku menyadari keberadaannya, dan datang padanya.

Jadi aku melakukan hal yang sama. Aku berjalan ke sana dan duduk di sampingnya. Dia jelas sudah melihat kedatanganku, tetapi dengan tidak sadar dia sedikit geser ke belakang seperti ketakutan.

Aku meniru nada bicara Ayahku mencoba untuk memelan suaraku.

"Kamu pertama kali datang ke sini?"

Dia mengangguk.

Ketika Ayahku mengajari aku, Beliau sering mengatakan saat pertama kali bertemu dengan orang lain, kita harus memberikannya perhatian dan bimbingan, biarkan mereka merasakan kehangatan dalam Tuhan. Membawa lebih banyak orang ke dalam Kerajaan Allah, ini baru bisa disebut hamba Tuhan.

Tetapi Beliau juga mengatakan, kita tidak boleh memaksa mereka untuk percaya, semuanya harus berdasarkan kehendak diri masing-masing.

Jika saat ini Ayah ada di sini, Beliau pasti akan tanya. Apakah kamu pertama kali percaya pada Tuhan? Atau, apakah kamu mau mengikuti Kristus?

Tapi aku bukan Ayah, jadi aku hanya tanya padanya.

"Mungkin kamu sedang ada masalah?"

Jika seseorang tidak memiliki masalah, dia tidak akan meminta bantuan Tuhan, aku tahu.

Aku juga sedikit penasaran, rahasia apa yang tersembunyi di balik luka di wajahnya?

Walaupun peranku tidak memperbolehkanku terlalu banyak membawa perasaan pribadi, aku juga tetap penasaran.

Dia menatap sepatunya yang sedikit kotor seperti sedang memikirkan apa yang harus dikatakan. Aku meletakkan kedua tanganku di atas lutut, menunggu jawabannya dengan tenang.

"Pendeta…"

Akhirnya dia mengeluarkan suaranya, suara itu sama seperti penampilannya yang lembut. Tetapi jawabannya tidak nyambung dengan pertanyaan, malah bertanya balik padaku.

"Walaupun aku tidak percaya dengan Tuhan, bisakah aku datang ke sini lagi?"

"Tentu saja boleh."

"Walaupun aku tidak percaya pada Tuhan, apakah Anda mau mendengarkan saya?"

"Tentu saja, asalkan kamu mau."

Aku hanya mematuhi petunjuk Alkitab, sama seperti Allah mengasihi dunia, memberikan bantuan saat kesulitan, dan melakukan apa yang menjadi tugasku, itu yang seharusnya aku pikirkan.

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Itu yang dijelaskan Injil Lukas. Tetapi ketika dia melingkari ibu jariku dengan jarinya yang gemetar, ketika dia menatapku, aku merasa seperti sedang berjongkok di depan rumput, menghadapi seekor kelinci yang dilukai pemburu, membuatku ingin melindunginya.

Aku berharap di dalam hati, berharap dia dapat lebih mengandalkanku. Kepercayaannya kepadaku, bahkan bisa lebih dari kepercayaannya terhadap Bapa di Surga.

TBC

Nanti jam 2 sore update satu chapter
Aku tau kalian baik, jgn lupa tinggalkan jejak" klian… maksudnya vote dan komen kalian di sini ya🙏

《SeulRene》Sins (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang