Bulan memakan nasi dengan kuah air garam dengan cepat. Setelah habis ia dengan segera meminum air serta dua butiran pil secara bersamaan. Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya, sarapan seadanya di dalam kamar Mbok Asri. Karena sudah jelas orang tuanya tidak akan mengijinkan Bulan untuk sarapan bersama.Bulan memperhatikan wajahnya di cermin—lemari di kamar Mbok Asri. Bekas tamparan siapa saja itu belum pulih, dan masih membekas. Tidak hanya di wajah saja, di hampir seluruh bagian tubuhnya terdapat hal yang sama. Sebab, memang begitulah kerja tubuhnya. Bulan menggendong tas miliknya kemudian memutuskan untuk berangkat sekolah, melalui pintu belakang. Tidak masalah memang lewat depan, namun sudah dapat dipastikan mereka sedang asik bersenda gurau—sebelum Ayahnya berangkat berkerja.
Halte bus dari tempatnya tinggal memang tidak terlalu jauh, cukup 5 menit dengan berjalan kaki. Untung saja supir bus selalu tepat waktu, jadi Bulan tidak harus menunggu lama. Dalam perjalanan menuju sekolah, Bulan senantiasa menatap hamparan jalan yang ada. Sebenarnya, kapan ia akan bahagia?
Turun dan menuju gerbang sembari menunduk, menyembunyikan diri dari tatapan hina manusia yang ada. Jika ini semua benar tentang keluarganya, mengapa semua orang seakan ikut campur dalam hal tersebut? Sama sekali tidak ada hubungannya bukan?
“Ah—lo lagi, lo lagi. Bosen tau gue liat muka lo itu, kenapa nggak kapok-kapok juga sih?!”
Bulan berjenggit saat salah satu dari perempuan kemarin mendorongnya keras. Menggigit bibir bawahnya sembari membatin; aku kuat.
“Sampah banget hidup lo itu sial! Nggak berguna, dasar jalang!”
Tahu apa dia tentang kehidupan Bulan? Sesampah itukah dirinya sampai tak ada lagi secercah harapan?
Perempuan berambut sebahu itu mengerang, persetan dengan semua yang sedang menonton kegiatannya. Lagi pula mereka juga pasti hanya akan diam saja, well posisi yang sangat menyenangkan. Tangannya kembali mendorong Bulan sampai terjungkal ke belakang, menarik beberapa helai rambut berwarna cokelat itu. Kakinya sibuk menginjak-injak tubuh Bulan yang kurus.
“Mati lo, sialan!”
Mentari mengajaknya bermain di luar gerbang rumah. Bulan sudah sempat menolak namun kakaknya itu hendak menangis karena penolakannya. Tidak ada alasan lain untuk menyetujuinya.
“Mentari—sebentar, jangan lari-lari nanti Ayah marah.”
Tidak dihiraukan, kembarannya itu tetap berlarian riang menuju seberang. Bulan berhenti sejenak, napasnya sudah terengah-engah. Namun suara klakson dan pekikan Mentari membuat matanya membulat sempurna. Berlari sekencang mungkin untuk dapat menggapai tubuh saudarinya itu.
Terjatuh dan berguling kemudian menghantam pinggiran jalan. Bulan merasakan sakit sekali di bagian belakang kepalanya, namun melihat keadaan Mentari membuatnya seakan lupa.
Darah itu mengucur deras dari kening Mentari, membuat Bulan memucat dan memanggil-manggil orang tuanya. Saat Ayah dan Ibunya datang dengan tergesa, mereka tidak mementingkan ssbuah penjelasan. Hanya ada Mentari di pikirannya.
“Bulan! Kenapa kamu membuat Mentari terluka?! Lihat dia berdarah banyak karena kamu, dasar anak sialan—tidak tahu diuntung!”
“Sudah Ayah bilang jangan pernah bermain di luar gerbang, kenapa tidak dengar juga? Lihat! Saudarimu terluka, dan itu semua karena kamu! Apa yang terjadi pada Mentari nantinya, kamu yang berdosa di baliknya! Dasar anak sialan!”
Bulan menangis tersedu, mengkhawatirkan keadaan Mentari yang berdarah-darah. Tanpa sadar bahwa belakang kepalanya pun mengucur cairan kental merah dengan deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Deep Pain
Teen FictionMereka berdua adalah kembar kecil yang sama-sama cantik dengan caranya sendiri. Bukan kembar identik memang, namun keselarasan jiwa dari anak kembar adalah yang terbaik. Tetapi itu dulu sekali, sebelum pada akhirnya rasa itu menyerang. Menikam tajam...