"Bagaimana kabarmu."
Suara itu terdengar lirih, masih sama dari yang terakhir kali didengarnya seminggu yang lalu. Membuang muka ke samping, seperti yang sudah-sudah, ia akan terus menghindari kontak mata dengan sosok itu, enggan menatapnya barang sedikitpun.
"Seperti yang kau lihat." Mengendikkan bahu dengan tak acuh.
Sosok yang ada di depannya lantas hanya mampu menampilkan senyuman tipisnya saja kala respon dingin itu didapatkannya. Ia sudah biasa, jujur saja. Selalu seperti ini yang didapatinya dari kunjungan rutin sang anak di tiap minggunya.
Wajah dingin tanpa ekspresi, mulut terkunci enggan untuk bersuara. Wajah berpaling enggan berhadapan, membuang tatapannya ke samping enggan untuk saling menatap dengannya.
Selalu seperti itu yang didapatkannya dari sang putra. Namun, kendati demikian, dapat melihatnya dari jarak yang sedekat ini sudah mampu membuat hatinya senang. Mampu berjumpa dengannya selama sepekan sekali sudah lebih dari sekedar cukup dan mampu untuk menyalakan kembali motivasinya untuk tetap bertahan hidup meski di dalam bui.
"Katakan semua yang ingin kau katakan, waktuku hanya lima menit."
Keheningan sempat terjadi usai sosok sang anak kesayangannya berkata demikian. Ia menunduk dengan dalam, menyembunyikan raut sedihnya yang tak mungkin dirinya pamerkan kepada sang putra yang sudah lebih dari lima tahun ini tak pernah didekapnya. Ia tidak akan menampakkan wajah sedih di hadapannya, karena hal itu bukanlah hal yang pantas untuk dirinya berikan kepada sang anak. Tetap tersenyum dan selalu nampak kuat, dua hal itulah yang harus dirinya perlihatkan kepada sang anak. Sebagai pesan padanya jika dirinya masih baik-baik saja, dan masih sanggup menjalani ini semua.
"Bagaimana kabar ayahmu?" Sebelum waktu singkat ini benar-benar berakhir, dirinya akan memanfaatkan momen dengan sebaik mungkin.
Sebuah dengusan remeh ia dapat sebagai balasan. Namun dirinya tidak merasa tersinggung sama sekali, malah sebaliknya, senyuman lebar ia tampilkan saat tahu jika sang anak meski terlihat tak memedulikannya namun ternyata anak itu masih sudi untuk sekedar mendengar perkataannya.
"Dia hanya suamimu, bukan berarti ayahku. Seperti yang selalu kau harapkan, dia baik, mungkin." Menaikkan alis tak yakin, jawabannya terkesan hanya asal mebebak saja. Sebab faktanya anak itupun memang selalu enggan untuk membahas sosok ayahnya.
"Dia tetap ayahmu. Selalu dengarkan nasihatnya dengan baik, jangan pernah membantahnya. Dan jangan pernah menentangnya, dia juga sangat menyayangimu seperti diriku. Dengarkan kalimat ibu baik-baik, ya."
"Ck."
Suara decakan muncul dibarengin dengan suada kursi yang berderit. Sosok itu beranjak dari kursinya, berdiri lalu berbalik dengan raut muka menahan amarah. Bahkan dapat dilihat tangannya juga mengepal dengan erat.
"Berhenti mengabdikan hidup untuk orang yang bahkan menganggapmu adapun tidak pernah. Kau akan mati sia-sia jika terus mempertahankan hal itu. Aku pergi."
Sang anak berucap dengan nada yang terdengar begitu dingin, serta menusuk. Agak sakit hati, namun ia memakluminya. Tersenyum simpul, ia tatap sosok yang sedang memunggunginya tersebut dengan tatapan teduh.
"Hati-hati di jalan, dan jaga kesehatanmu, Mark. Ibu menyayangimu." Salamnya dengan tidak rela saat melihat punggung itu telah hilang di balik pintu.
Pertemuan ini terlalu singkat. Selalu seperti itu.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
DONT LET ME FALL
FanfictionMembiarkan diri sendiri jatuh hanya untuk orang lain? Itu tak akan terjadi. Namun jika dihadapkan pada realita, jika itu dihadapkan pada dirimu, harus diakui jika itu memang terasa sukar untuk dihindari. Terkadang aku harus sadar jika kau agak mena...