Malam yang dingin. Sudah satu jam aku duduk dengan jari-jari yang tak karuan mengejar deadline. Sesekali menyeruput air putih dihadapan. Kafe ini tidak terlalu ramai. Menurut kawan, banyak orang yang datang kesini hanya untuk sekadar bersantai dan melepas penat dengan deretan kopi yang tidak hanya satu jenis. Jarum jam tanpa lelah terus berputar, menunjukkan pukul sepuluh malam. Yogyakarta semakin sendu bila malam tiba, itu benar. Juga semakin anggun saja sejauh mata memandang bersama jiwaku yang hampa.
Beberapa kali aku memijat dahi, melontarkan misuhan atas file yang harus ku download dan selesai malam ini juga. Liburan yang dibayangi tugas susulan dari dosen itu sungguh tidak menyenangkan. Sambil menunggu unduhan selesai dengan wifi yang lancar jaya, aku melanjutkan deadline tulisan yang harus ku kirim dua hari ke depan. Sama saja, keduanya membuatku pusing seketika.
Sementara jariku masih menari, aku sadar seseorang menghampiri. Ia berujar, "hey, kosong ya? boleh ikut duduk disini?"
Tanpa permisi lagi ia duduk begitu saja. "Saya dari meja nomor delapan belas. Yang disana," ia menunjuk letak mejanya, aku mengangguk, ia melanjutkan, "sama-sama menghadap jendela besar. Hanya bersebrangan saja."
"Oh iya, Mas." Jariku berhenti mengetik. Lelaki itu tersenyum. Perawakannya seperti kakak kelasku. Warna kulitnya kuning langsat. Aku pikir usianya tak jauh berbeda denganku, kira-kira dua sampai tiga tahun diatasku. Ia mengenakan waist bag EIGER, kaos pendek berwarna hitam, serta celana jeans selutut. Potongan rambutnya rapi, sudah ku bilang ia sekilas mirip dengan kakak kelasku.
"Ndak apa kan saya disini?"
"Sudah terlanjur duduk juga, Mas."
"Oh iya juga ya. Mahasiswi mana?"
"Hmmm, maaf Mas?"
"Akuntansi 2016. Sticker kuning putih di laptop. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Lebih terlihat sebagai style anak komunikasi kalau di kampus saya."
"Ohh, sticker ya?" aku mengecek sticker yang dimaksud. Pintar sekali lelaki ini membaca sesuatu. Atau jangan-jangan ia sempat memerhatikanku juga.
"Banyu," ia mengulurkan tangannya, tepat disamping gelas berisi air putih di mejaku.
"Eh Mas, itu bekas saya. Mau saya pesanin lagi?"
Lelaki itu tertawa pelan, ia mengusap kumis tipisnya dengan jari telunjuk kirinya.
"Mbak, maksud saya bukan Banyu air. Satu cangkir kopi sudah saya habiskan malam ini di meja delapan belas tadi. Jadi saya tidak haus, Mbak. Nama saya Banyu. Asal Jakarta. Semester akhir. Kampus saya tidak jauh darisini. Pukul sembilan tadi, Mbak sempat memerhatikan rombongan yang keluar dari kafe ini. Itu teman-teman saya."
"Oh, gitu Mas. Kira saya Masnya haus. Maaf ya Mas, ini saya harus melanjutkan dulu." Tunjuk saya pada laptop.
"Deadline juga ya? Jauh sekali deadlinenya sampai Yogyakarta."
"Maaf?"
"Sticker di kamu itu jelas sekali sebenarnya. Mahasiswi kampus Jakarta. Photographer juga, Mbak?"
"Sticker ini ya, Mas?" kali ini aku menunjuk pada sticker photography yang menempel dengan cantik di buku harian. "Ini saya dikasih teman. Teman yang photographer, Mas."
"Sepertinya saya harus memesan minuman lagi. Menunggu kamu selesai."
"Maaf, Mas?"
"Tidak apa kan, saya disini menemani? Saya punya firasat untuk bekerjasama. Selesaikan dulu saja mbak urusannya dengan laptop."
Aku mengangguk. Banyu memesan satu gelas air putih, persis dengan pesananku sebelumnya. Ia tak banyak bicara ketika aku sibuk dengan laptop. Aku mengizinkan Banyu untuk bermain ponsel. Dua puluh menit menunggu, ia sempat izin menjauhi mejaku, dapat telepon dari seseorang — entah siapalah itu. Ia kembali dengan ponsel ditangannya yang masih tak lepas, kemudian berujar, "saya nunggu sambil main PUBG ya."
YOU ARE READING
Aren dalam Cangkir Kopi
De TodoSampai disuatu hari ada yang bertanya kepada saya, "Apa arti kebahagiaan menurutmu, wahai anakku?" Bukan. Ia bukan seorang ayah, melainkan pria baik yang suka melucu. Semenjak bertemu dengannya, saya mulai mengetahui sesuatu. Dunia miliknya telah me...