Dengan ragu kuambil sebuah bulu sayap dari punggungku lalu meletakkannya pada bandul belati dalam genggaman Max. Kami menyaksikan bagaimana buluku yang seputih salju perlahan berkerut lalu berubah warna menjadi keabuan kemudian menghitam dan mati. Di saat yang sama bandul belati milik Alof mulai berpendar keemasan hingga terlihat seperti api di atas tangan Max. Kulirik jam analog yang berada di atas meja kerja Max. Detik yang bergerak semakin lama semakin melambat hingga akhirnya berhenti mati di tempat.
Alof benar-benar datang.
Kuikuti arah pandangan Max ke balik punggungku. Alof berdiri beberapa meter di belakangku, di sudut ruangan yang lebih gelap. Ia mengenakan jubah tipis berwarna putih dengan pinggiran berwarna merah darah dan emas, pakaian yang biasa dikenakan kaumku hanya saja warna pinggirannya menunjukkan status kedudukannya. Kedua mata birunya memandangku dengan penuh amarah.
"Kupikir kau sedang berada di ujung nyawamu, Cattleya."
Kubalikkan badanku untuk menghadapinya, "Lalu? Apa kau akan menolongku jika aku benar-benar hampir mati, Alof?"
Ekspresi tertegun melintasi wajahnya, walaupun hanya sebentar. Lalu Ia tersenyum dingin saat mengalihkan pandangannya pada Max di belakangku. "Sepertinya aku salah sudah mempercayaimu." katanya setelah menoleh padaku lagi. "Aku tidak ingat berapa kali kau sudah mengecewakanku." gumamnya. Rambut keemasannya yang panjang berpendar di antara kegelapan. Alof yang Agung, nama itu memang pantas disandangkan kepadanya.
"Mengapa kau menghapus ingatanku?" desisku marah.
Kedua sudut bibirnya di tarik ke bawah membuat wajah tampannya berubah. "Mercile itu yang memberitahumu?" tanyanya dengan tenang, tapi di balik ketenangannya aku tahu ada bahaya yang akan mengikutinya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
Alof menghapus cemberut di wajahnya dan menggantinya dengan senyuman tipis. "Untuk apa mengingat hal yang menyakitkan, aku hanya membantumu, Cattleya."
"Siapa- siapa yang membunuh orangtuaku, Alof?" tanyaku dengan kemarahan yang sangat kuat hingga suaraku bergetar karenanya.
"Jika kau ingin semua jawaban dari pertanyaanmu," Alof mengangkat tangannya padaku, "Kembalilah padaku."
Ia mengatakan 'kembalilah padaku' dengan sangat lembut hingga membuat bulu halus di kedua tanganku meremang.
"Siapa. Yang. Membunuh. Orangtuaku?" ulangku, kali ini seluruh tubuhku bergetar karena marah. Kurasakan tangan Max yang berada di pundakku untuk menenangkanku. Kedua mata Alof kembali dipenuhi amarah hingga berkaca-kaca saat memandang tangan Max di pundakku.
Alof masih mengangkat tangannya padaku, "Kembali lah padaku, Cattleya..." sebuah air mata penuh amarah jatuh dari salah satu sudut matanya.
Rasa bingung dan tidak percaya membuatku mundur menjauh darinya.
"Sekarang kau percaya? Selama ini Ia mencintaimu... Ia adalah seseorang yang membuangmu lalu memungutmu lagi seperti sampah yang terlupakan." suara Max di belakangku terdengar samar.
"Cattleya, kembali padaku!" teriaknya dengan marah, kaca di sekitar kami bergetar karenanya.
Aku menggeleng padanya masih dengan rasa tidak percaya, "Lalu mengapa kau- kau menghapus ingatanku?"
"Kau akan meninggalkanku untuknya... Untuk mercile itu. Kau terlalu berharga untuknya!" Dengan desisan penuh kebencian Alof menumpahkan rahasianya selama ini, "Aku yang lebih dulu mencintaimu!"
"Kau tidak mencintainya, Alof. Kau terobsesi padanya!" Max berdiri di sampingku lalu meraih tanganku dalam genggamannya. Pandangan Alof sekilas beralih pada kedua tangan kami lalu dengan marah Ia mencabut pedang dari kalungnya yang seketika berubah menjadi senjatanya.