"Ah, jadi Alof ingin bermain api?" gumamnya sambil tersenyum sadis. Kedua matanya yang menghitam membuatnya terlihat semakin mengintimidasi. Aku tidak tahu ada Mercile yang bisa bertahan lama di dunia ini, sama seperti kaumku, semakin lama berada di dunia manusia maka kekuatan kami akan semakin melemah. Tapi Ia hanya setengah Mercile... yang artinya salah satu dari orang tuanya adalah manusia.
Mercile dan manusia... menciptakan sesuatu yang dapat bertahan di kedua dunia sekaligus. Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di dalam kepalaku.
"Bagaimana kau mengenal Alof?" tanyaku pelan.
Kedua mata hitamnya menatapku dengan tajam, "Ia mengambil seseorang yang berharga dariku, lalu menghancurkan hidupku dengan membuat seseorang itu tidak bisa kembali lagi padaku." Aku hampir bisa merasakan aura kemarahan yang memancar darinya, seluruh rasa bencinya terpampang jelas di wajahnya saat ini. "Bagaimana denganmu, Deidre kecil? Mengapa kau membenci Alof yang Agung?"
Ah, rupanya Ia tahu siapa Alof dan kedudukannya di duniaku. "Ia yang mengirimku ke tempat ini. Aku tidak dapat mengingat apapun selain itu. Aku tidak bisa mengingat kehidupanku yang sebelumnya, aku hanya dapat mengingat wajah kedua orangtuaku dan namaku... selain itu, masa kecilku, siapa temanku, dimana rumahku... aku tidak mengingatnya sama sekali. Seakan-akan sebagian besar memoriku berganti dengan kekosongan."
"Dan kau tidak melawannya." gumamnya dengan marah. Nada marah di dalam tuduhannya membuatku mendongak menatapnya lagi.
"Kau tidak tahu apa-apa Maximus." desisku sambil berdiri dari sofa yang kududuki.
"Max. Panggil aku Max, Deidre." Ia bersandar pada meja di belakangnya. "Jadi apa kau akan membunuhku atau menghabiskan satu minggumu membusuk di dunia ini?"
Pertanyaannya membuatku merasa tersinggung,"Kau pikir aku tidak bisa membunuhmu?"
Max menelengkan kepalanya lalu tersenyum padaku, jantungku kembali berdegup kencang saat melihat senyuman sadisnya... yang kali ini tertuju padaku. "Sebenarnya aku tidak pernah bermimpi hari ini akan tiba. Tapi aku harus berterima kasih pada sifat paranoid Alof."
"Apa maksudmu?" kali ini aku benar-benar tidak mengerti apa yang Ia bicarakan.
"Ia tahu hanya ada satu orang yang dapat membunuhku."
Keningku berkerut sesaat, "Aku?" Apa Ia sedang bercanda? Aku bahkan belum pernah membunuh apapun sepanjang hidupku, kurasa.
Salah satu tangannya terangkat ke arahku, "Kemari." gumamnya padaku. Dan entah mengapa kakiku bergerak mengikuti perintahnya. Salah satu sudut mulutnya terangkat saat aku berhenti di depannya. "Di dunia ini hanya ada satu orang yang dapat membuatku berlutut, Cattleya." bisiknya di telingaku, nafasnya yang hangat berhembus lembut di tengkukku. "Tapi Ia tidak bahkan tidak mengingat namaku..."
Kurasakan kedua mataku membesar saat menyadari apa yang Ia katakan. Max menarik kepalanya menjauh untuk melihat reaksiku, lalu Ia tersenyum puas. "Karena itulah Alof mengirimmu, sayangku."
Aku menggeleng padanya, kedua kakiku bergerak menjauh darinya tanpa kusadari. "Tidak mungkin... Aku tidak mengenalmu. Kau... kau seorang Mercile. Tidak mungkin."
Senyuman di wajahnya memudar saat mendengar kata Mercile keluar dari mulutku. "Cattleya yang sebelumnya tidak peduli dengan ras atau asal-usulku."
"Aku- aku tidak mengingatmu." gumamku, rasa panik mulai menggantikan rasa bingungku yang sebelumnya. Aku tidak tahu harus mempercayai siapa lagi. "Siapa kau sebenarnya?"
Max menatapku dengan sedikit pandangan simpati. "Kau benar, Cattleya yang saat ini adalah orang lain." gumamnya lebih pada dirinya sendiri. Tiba-tiba Ia berdiri dari sandarannya lalu mengecek jam di pergelangan tangannya. "Meetingku akan segera dimulai. Kau tahu jalan keluarnya, kan?" katanya sambil berlalu melewatiku.