Cerita ini bukan tentang negeri Seribu Satu Malam. Juga bukan berkisah tentang sang raja dan ratunya . Ini lebih kompleks dengan sedikit intuisi penuntun alur. Jangan sungkan, ia tidak mengekangmu melihat ke masa lalu. Ia hanya akan berkata, "Kau sudah berjuang. Jadi menangislah dengan bangga."
°°°
Jam pelajaran usai lebih cepat hari ini. Para guru mengadakan rapat mengenai kenaikan kelas. Tepat sekali. Seminggu lagi adalah waktu dimana mereka mengetahui sang pemuncak-pemuncak kelas.
Tidak ada yang spesial tentang hal itu bagi sebagian besar siswa. Mereka tidak peduli siapa yang menyandang gelar juara umum. Mereka juga tidak peduli dengan ketatnya persaingan ranking dan permainan nilai. Yang dipedulikan hanya adanya tulisan 'naik kelas' walau dengan nilai pas-pasan.
Namun, jika ada yang tidak peduli, maka juga ada yang gila karena hal ini. Status juara yang disandang menggiurkan untuk disematkan kepada salah satu dari mereka. Kau bisa menjadi sedikit atau bahkan lebih berbeda dari yang lainnya. Entah itu pandangan dari teman bahkan guru sekalipun.
Atau mungkin kau hanya ingin diperhatikan, diakui dan dianggap ada disini. Dan entah kapan itu terjadi.
Beberapa siswa terlihat berhamburan menuju pagar sekolah. Ada yang berjingkrak riang dengan teman. Ada yang hanya berjalan dengan langkah cepat dan sedikit merapikan kacamata yang menggantung di hidungnya. Pun ada yang menikmati acara pulang sekolah dengan sebuah novel ditangan. Juga disalah satu sudut lapangan, ada kegiatan berkumpul dadakan entah itu ekstrakurikuler ataupun ajang senda gurau bagi beberapa siswa.
Ya, inilah yang tengah diperhatikan Devan. Ia menyaksikan semua itu secara langsung dari balkon kelas yang menatap jauh ke lapangan dan pintu masuk sekolah.
Ia memejamkan mata sejenak. Menutupi pandangan sekitar. Kelopak matanya tidak memberi celah agar retina cokelat itu dapat menangkap seberkas cahaya. Hanya hembusan napas kasar yang mengiringi. Kemudian, bulu mata nan panjang itu bergerak pelan membuka.
Devan menatap kosong saat ini. Entah apa yang tengah berkecamuk dipikirannya.
Kali ini ia memutar badan. Berjalan tenang menuruni anak tangga dengan tas hitam menggantung seadanya dibahu kanan. Kedua saku celana abu-abu itu menjadi tumpangan bagi tangan kekarnya.
Dengan tatapan dingin itu, ia tetap berjalan hingga tiba diparkiran motor. Sudah hampir kosong disana. Hanya tinggal dua motor metic dan sebuah sepeda Roadbike warna hitam putih. Terpakir rapi dibawah pohon.
Setiap harinya, Devan lebih memilih sepeda ketimbang motor-motor gagah yang biasanya dipakai pemuda seusianya. Ia tidak ingin terlihat terlalu mencolok.
Kayuhan sepeda yang santai membuat ia bisa menikmati pemandangan kota yang teramat sesak. Semua orang sibuk dengan dunianya sendiri. Wajar saja, ini sudah waktu istirahat bagi para pekerja. Kemudian, Devan berhenti disebuah kursi taman. Tempat favorit Devan dikota ini. Sebuah kursi hitam yang mampu menampung dua sampai tiga orang. Juga sebuah pohon ketapang kencana sebagai peneduh ditengah teriknya sapaan mentari.
Hari ini Devan berniat memejamkan mata dan terlelap dikursi itu. Ia membenarkan posisi, kemudian sebuah headphone metalic sudah membekap telinganya.
"Kau mau tidur lagi? Disini?"
Cepat-cepat Devan menurunkan headphone itu keleher. Menoleh untuk melihat sang pelaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arco Iris
Teen FictionLangit yang kelam bergores warna hari itu. Memotong alur hidupku dengan sebuah kisah baru yang telah kau bungkus dengan pita emas. Aku disini karena kamulah sang pemeran utamanya. • a r c o i r i s • rinrin_v 2020