Sebulan yang lalu tepatnya. Dia perlahan berubah. Dia pelan-pelan meniti sebuah jalan yang bertolak belakang dengan arahku. Laki-laki itu lebih diam dari biasanya. Dia menjadi jarang mengajakku ke toko buku, hampir tidak pernah menemaniku menonton film kegemaranku di bioskop, dan mengirimiku pesan elektronik seperti makan saja, sehari tiga kali. Yang lebih membuatku hampir kehilangan kewarasanku, laki-laki itu tanpa basa-basi berkata akan kembali ke Lampung, tempat di mana dia pertama menghirup oksigen di dunia ini.
Bukankah itu berarti keberhasilan atas hubungan kami berkurang tujuh puluh persen? Siapa yang akan tahan dengan hubungan jarak jauh? Oke, anggap aku tidak akan keberatan dengan perpanjangan jarak ini, tapi tidakkah itu akan semakin melukaiku, sedangkan saat kami dekat saja dia sudah berusaha untuk menjauh?
Satu hal yang 'mungkin' sedikit meringankan hatiku adalah dia masih berusaha meyakinkan kekokohan hubungan kami. Bahkan tiga hari lalu, saat dia melangkah pergi, dia berjanji akan mengabariku tepat ketika ia menginjakkan langkah pertamanya di tanah Lampung. Dan aku mempercayainya.
Tapi, kenapa sampai sekarang dia diam saja? Apakah tiga hari belumlah cukup untuk perjalanan Jawa-Sumatera naik pesawat? Aku menatap nanar layar handphone dengan perasaan galau berlebihan.
Ah tidak, bukan berlebihan. Aku rasa aku masih dalam kawasan lumrah-lumrah saja saat mengkhawatirkan keadaannya seperti ini. Dia adalah seseorang yang selama ini menemani hari-hariku. Dialah seseorang yang sudah memberiku impian tentang kehidupan masa depan yang indah. Hanya dia yang bisa menyakinkanku bahwa aku akan bisa hidup bahagia, tentu dengannya di sisiku. Bagaimana bisa aku tidak uring-uringan saat tiba-tiba dia menghilang?
Pil putus. Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa putus, padahal jadianpun masih berupa impian yang akan menjadi kenyataan.
Tiga bulan.
Tiga bulan kemarin adalah detik-detik paling berharga. 7776000 detik yang penuh dengan kebahagiaan dan harapan. Apakah harus sirna bersama perginya dirinya? Apa harus terhapuskan dengan lenyapnya sosoknya dari hari-hariku?
Aku ingat, tiga bulan lalu, dia datang dan mengatakan dia akan berusaha agar aku bisa menerima harapannya. Dia mengatakan dia akan membangun rumah yang indah untukku. Dia mengatakan dia begitu menyukaiku, menginginkanku terus berada di sisinya. Dia mengatakan nantinya ingin mempunyai 10 anak agar bisa membentuk kesebelasan. Dia mengatakan tak ada satu pun perempuan yang membuatnya begitu jatuh cinta selain diriku.
Ciih! Aku mual.
Apa baginya semua itu hanya dongeng pengantar tidur?
Kulirik handphoneku sekali lagi—benar-benar berharap—ada sms, whatapps atau panggilan darinya.
Tapi.
Sunyi.
Nyatanya tak ada kabar apapun. Tak ada sms, whatapps, apalagi telepon. Laki-laki tetap diam. Ditelan jarak dan kenangan.
Apa dia sudah mulai gila?
Tidak. Mungkin aku yang akan mulai hilang kewarasan.
<<aulya>>
YOU ARE READING
PERI KERTAS
Teen FictionSemua orang mengetahui bahwa waktu adalah sebuah kata yang tidak mempunyai sifat tidak dapat diulang. Karena itu Kamilla, seorang gadis SMA, tidak ingin nanti ketika dia berusia 30 tahun, dia menyesal karena begitu penasaran tentang bagaimana perasa...