Di sebuah halte, pada sore hari yang hujan seperti biasanya.
---
Seperti biasanya pada bulan-bulan di awal tahun, kota itu diguyur hujan yang cukup deras, biasanya akan lebih sering di bulan Maret atau April. Pukul lima sore adalah waktu di mana hujan turun deras secara tiba-tiba, padahal siang hari begitu terik hingga membuat siapa pun malas keluar rumah. Perempuan dengan rambut sebahu itu masih menunggu hujan sedikit reda karena ia benar-benar lupa untuk membawa payungnya hari ini. Ia bahkan baru ingat bahwa payungnya masih dijemur di halaman depan rumah dan belum sempat ia lipat karena tadi siang waktunya benar-benar terbatas.
Perempuan itu sesekali melirik jam tangannya dan menghela nafas panjang. Hari sudah semakin gelap, namun ia masih berdiri di sebuah halte bersama beberapa orang yang juga berteduh di sana. Derasnya hujan membuat suara percakapan beberapa orang yang ada di sana terdengar samar, beberapa mungkin hanya berbicara sekadarnya, untuk basa-basi. Ia menyenderkan punggungnya di sebuah tiang halte, tidak dapat duduk karena halte tersebut benar-benar penuh, terlebih karena ramainya pengendara motor berhenti untuk mengenakan jas hujan mereka.
Ia berdecak. Seandainya saja hari ini ia membawa payungnya, mungkin saat ini ia sudah sampai di rumah dan sedang menikmati secangkir teh hangat. Perempuan itu merapatkan jaket yang ia kenakan dan mendekap tas tenteng yang ia bawa. Tas itu hanyalah tas biasa, kalaupun nantinya basah, ia benar-benar tidak masalah. Hanya saja, beberapa hal yang ada di dalam tas tenteng itu merupakan hal yang benar-benar berharga, tidak boleh sampai terkena air karena mungkin tintanya bisa luntur.
“Mau payung?” tanya seseorang yang entah sejak kapan sudah berada di samping perempuan itu, tersenyum sembari menawarkan sebuah payung lipat berwarna biru. “Aku menawarkan payung karena aku yakin kamu pasti butuh.”
Perempuan itu menggeleng ragu. Bagaimana tidak, seorang laki-laki entah datangnya dari mana, dengan pakaian rapi seperti baru saja selesai kuliah itu menawarkan payung padanya. Dari sekian banyak orang yang berteduh di halte kecil tersebut, laki-laki asing itu menawarkan sebuah payung padanya. Perempuan itu tidak mau mengira bahwa laki-laki itu merupakan seorang ojek payung yang memang menawarkan jasa secara sukarela karena pakaiannya benar-benar seperti mahasiswa yang baru pulang kuliah.
“Aku mahasiswa kok, sama seperti kamu. Kamu pikir aku ini ojek payung, ya?” tanyanya lagi, diiringi dengan tawa kecil. “Aku mau neduh juga.”
“Kenapa payungnya ditawarin ke saya? Kamu memangnya nggak pakai? Mau hujan-hujanan?” berondong perempuan itu dan spontan membuat laki-laki pemilik payung itu tertawa.
“Santai, pertanyaannya kujawab satu-satu ya,” ucap laki-laki itu dengan memberi jeda pada perkataannya. “Aku bawa motor, neduh di sini karena mau pakai jas hujan, kamu bisa lihat sendiri kalau bajuku sudah basah karena kehujanan.”
“Omong-omong, kamu main piano?” laki-laki itu mengenakan jas hujannya sembari menunjuk tas tenteng milik perempuan itu yang berisi sebuah map. Di dalam map tersebut terdapat sebuah buku partitur.
Perempuan itu mengangguk seadanya. Jujur, ia sedikit bingung dengan dirinya yang begitu mudahnya berbicara dengan seorang yang baru saja ia temui beberapa menit lalu. Ia sebenarnya cukup waspada, berjaga kalau saja laki-laki yang saat ini berdiri di sampingnya adalah seseorang yang sedang berniat buruk. “Saya ngajar piano di tempat les punya saudara.”
Laki-laki itu mengangguk mantap. “Aku tahu kok, pernah lihat waktu jemput adik.”
“Adikku les piano di tempat kamu mengajar. Makanya, ambil payungku nih, aku punya alasan kenapa aku mau meminjami payungku ke kamu. Ya, karena kamu guru piano adikku.” Laki-laki tersebut tetap bersikeras memberikan payungnya pada perempuan itu yang sejak tadi masih tidak paham tentang laki-laki yang berdiri di sampingnya ini.
“Terus, saya harus percaya kamu gitu? Memangnya kamu kenal saya? Saya aja nggak kenal kamu,” ucap perempuan itu setelahnya.
“Aku memang nggak kenal kamu, tapi kita pernah bertemu sekali. Kamu mungkin nggak lihat karena terlalu buru-buru. Aku serius soal pernah bertemu kamu di tempat les piano itu, makanya aku dengan senang hati meminjami payungku karena kebetulan kita ketemu lagi.” Laki-laki itu kini sudah mengenakan jas hujan yang lengkap. Ia kemudian berniat menyelipkan payung lipat itu di dalam tas tenteng perempuan yang berdiri di sampingnya, namun perempuan itu menarik tasnya.
Laki-laki itu menghela nafas panjang. “Ya ampun, aku serius. Aku datang ke halte ini buat berteduh dan pakai jas hujan saat aku secara bersamaan nggak sengaja lihat kamu lagi neduh juga di sini. Nggak ada niatan aneh, lagian aku baru pulang kuliah, habis ujian, pusing.”
“Oh ya, namaku Ervan.” Ia mengulurkan tangannya, namun perempuan itu terlihat ragu-ragu untuk membalasnya. “Namamu?” tanyanya lagi. Namun, perempuan itu belum sempat menjawab saat laki-laki itu menjentikkan jari dan tersenyum lebar. “Seren?”
“Jangan tanya aku tahu nama kamu dari mana. Namamu jelas-jelas tertulis di buku partitur tuh.” Laki-laki bernama Ervan itu menunjuk map plastik milik perempuan yang ternyata bernama Seren itu.
“Payungnya, Kakak, payungnya,” ucap Ervan sembari menggoyangkan payung lipat itu di depan Seren. “Ambil nih. Kamu nggak perlu repot-repot mikirin soal cara untuk ngembaliin payungku. Payungnya bisa kamu kembalikan kalau nanti kita ketemu lagi.”
Seren mengangkat sebelah alisnya. “Gimana saya tahu kalau saya bisa ketemu kamu lagi? Saya nggak mau berhutang.”
Ervan tertawa cukup keras dan menggeleng, bersamaan dengan hujan yang berangsur reda dan beberapa orang satu-persatu mulai meninggalkan halte. “Hutang? Payungku bukan hutang, nggak akan kutagih.”
“Waktu bisa mempertemukan kita di mana saja kok. Jangan khawatir dan nggak usah merasa bahwa kamu berhutang sesuatu sama aku. Aku duluan ya, jangan lupa dipakai payungnya!” Ervan berjalan meninggalkan halte dan melambaikan tangannya pada Seren, walaupun Seren tidak membalas lambaian tangan itu karena jujur ia masih agak bingung dengan semua ini.
Sesaat setelah motor Ervan melesat seperti terbawa angin, Seren menatap payung itu dengan lekat. Dia bahkan tidak bisa seratus persen percaya bahwa laki-laki yang dengan baik hati meminjaminya payung itu benar-benar bertemu dengannya di tempat les piano di mana ia mengajar. Namun, sesuatu hal yang baik tidak dapat ditolak begitu saja oleh Seren. Ervan memang mengatakan soal dirinya yang tidak akan menagih payungnya, karena payungnya bukanlah hutang yang harus ditagih. Tapi, Seren tetap merasa bahwa payung itu hanya dipinjami oleh laki-laki bernama Ervan tadi, yang artinya suatu saat ia harus mengembalikannya.
Seren tidak tahu banyak tentang Ervan, bahkan ia tidak tahu apakah mungkin ia akan bertemu lagi dengan laki-laki itu di lain hari. Dia juga tidak tahu apakah Ervan jujur soal dirinya yang pernah bertemu dengan Seren secara tidak sengaja di tempat les piano saat laki-laki itu menjemput adiknya. Seren juga tidak tahu bahwa hari ini ia akan bertemu dengan laki-laki bernama Ervan, di sebuah halte tempatnya berteduh dari hujan yang mengguyur kota di sore hari seperti biasanya.
Seren menggeleng, bersamaan dengan dirinya yang beralih untuk membuka payung itu dan berjalan meninggalkan halte. Hujan yang semula reda, kini kembali mengguyur kota, walaupun kali ini tidak sederas tadi. Seren sudah berjalan cukup jauh dari halte saat ia menengok kembali ke arah sana. Hari ini, ada beberapa kejadian yang tak pernah ia sangka akan datang menghampirinya. Dan semua itu, bermula karena ia meneduh di sebuah halte, pada sore hari yang hujan di bulan Maret.
-selesai-
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sebuah Halte
Short Storydi sebuah halte, pada sore hari yang hujan seperti biasanya. One-shoot Short Story illustration from pinterest © 2019 by thymesya