Keputusan Akhir

13.5K 841 40
                                    

"Temannya ... Andri." Suara ibu hampir tenggelam oleh deru sepeda motor yang lewat di depan rumah.

Temannya Mas Andri? Dari Yogya? Apa dugaanku benar?

"Ita, maksud Ibu?" Mataku menatap lekat wanita paruh baya di hadapanku ini, dan dia terperangah. 

"Kamu kenal juga, Des?"

Lemas, aku menatap bakpia di tangan dengan mata berkabut. Namun, dengan cepat aku berusaha menguasai rasa terkejut dan sakit di hati. Kudekati ibu, dan kutatap matanya lekat.

"Jadi perempuan yang berbaju merah tadi itu, Ita?"

Lagi-lagi Ibu terperangah. Sedetik kemudian kepalanya menunduk, menatap lantai kosong.

"Boleh Des tahu, ada hubungan apa antara dia dan Mas Andri, Bu?"

Ibu semakin menundukkan kepalanya. Terlihat gelisah dan serba salah. Beberapa detik kemudian, dia terisak. "Maafkan Ibu, Nduk. Andri sudah Ibu ingatkan, begitu juga Ita. Tapi, mereka ...." Beliau tergugu lalu memelukku erat seraya terus meminta maaf.

Aku gemetar.  Dadaku berdebar kencang. Seluruh dunia terasa runtuh saat itu juga. Kutatap wajah anak-anakku yang tampak kebingungan melihat kami berdua.

Tuhan, beri aku kekuatan.

"Mas, bisa pulang cepat hari ini?" Saat itu juga, kuhubungi Mas Andri di kantornya.

"Ok. Mas jemput kalian sebelum jam lima, ya."

Dengan perasaan yang tak menentu, aku menunggu kedatangan Mas Andri. Ibu yang biasanya selalu bercerita ini dan itu setiap kali aku datang, setelah kejadian tadi, dia hanya duduk termenung di ruang makan. Anak-anak pun, lebih memilih bermain di kamar bersama Bi Anah, asisten rumah tangga Ibu. Sedangkan aku, duduk sendiri di ruang tamu seraya menatap jalanan yang mulai dipadati kendaraan.

"Assalamualaikum."

Tepat jam setengah lima sore, Mas Andri pulang. Wajahnya terlihat begitu ceria. Dengan mesra, dia menciumku, juga Ibu. Lalu menghampiri anak-anak di kamar.

"Ayo, siap-siap. Kita pulang," ajaknya sesaat ke luar dari kamar anak-anak.

"Aku mau nginep di sini."

Mas Andri mengerutkan kening. "Tadi bukannya mau pulang?" Dia duduk di sebelahku. "Ayo, kita pulang aja." Dia mengulurkan tangan, mencoba meraih tanganku.

"Aku mau nginep aja." Lutepis pelan tangannya. Mas Andri terperangah.

"Kamu kenapa, Dek? Sakit?" Tangannya mengulur, hendak meraba keningku. Namun lagi-lagi aku tepis. "Kalau kamu sakit, kita pulang aja, ya. Aku ga mau ngerepotin Ibu."

Aku tersenyum sinis. "Aku, mau nginep." Aku bangkit, meninggalkan dia yang masih terlihat bingung.

"Kita bisa nginep besok, Dek. Hari ini kita pulang, ya." Dia mulai memaksaku. aku menggelengkan kepala.

"Kenapa kita harus pulang?" Aku tatap tajam wajahnya.

"Kamu kenapa, sih, Dek?" Dia menatapku keheranan. "Kalau kamu sakit, ayo kita pulang, biar kamu bisa istirahat di ru--."

Aku tertawa. "Kamu, lagi mengkhawatirkan keadaan aku, atau lagi ketakutan Ita datang ke sini, dan kami ribut, cakar-cakaran memperebutkan kamu?" Tajam kutatap dia saat itu.

Dia tersentak, menatapku tak percaya. "Ma-maksud ka-kamu?"  
Aku tertawa melihat wajahnya yang pucat pasi. Dia menatap aku dan Ibu bergantian.

"I-ini, ada apa, ya, Bu?" Dengan suara yang terbata-bata dan bergetar, dia bertanya.

Di sudut sofa, Ibu mulai terisak. "Ita lagi ada di sini sewaktu istrimu datang tadi," jawab ibu pelan, hampir tak terdengar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUKULAN TELAK (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang