Bab Satu
Pagi-pagi aku telah bangun. Dalam minggu-minggu terakhir, kami memang tidak bersekolah lagi lantaran ujian sekolah SMP telah berakhir. Sebagian teman memang ada yang datang ke sekolah untuk mengurus sesuatu, dan sebagian lain menghabiskan waktunya di rumah.
Seperti diriku saat ini. Aku lebih banyak di rumah. Mengurus Emak yang lumpuh(emak lumpuh setelah melahirkan aku). Dan aku juga tengah mengurus Abak yang sedang sakit.
Tak pernah kutahu Abak sakit apa. Dalam seminggu ini dia hanya terbaring sakit di kamarnya. Terkadang aku menyuapinya makan. Tapi, Abak mengeluh sakit di tenggorokannya sehingga baru beberapa suap, Abak enggan meneruskan makannya. Sementara Emak yang lumpuh hanya bisa menyaksikan suaminya terbaring tanpa dapat berkata apa-apa.
Sangat pedih berada dalam situasi seperti ini. Tapi, aku nggak sendirian. Ada Ayuk(Kakak perempuan-dalam bahasa Palembang) Wati yang kini bekerja di sebuah komplek perumahan(dia hanya bekerja sebagai pembantu), sementara ada Kakak laki-lakiku Budi Rosa, yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Keduanya tak bisa mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas. Kak Budi Rosa hanya tamatan SD. Sementara Ayuk Wati berhenti di kelas dua SMA. Ayah kami tak sanggup membiayai sekolah lagi, sehingga kedua Kakakku hanya bisa bekerja seadanya. Disinilah ternyata, argument bahwa sekolah itu sangat penting harus masuk dalam agenda kedua orang tua.
Mengapa?
Karenayang lulus SMA aja susah mencari pekerjaan. Apalagi sampai tidak sekolah.
Balik lagi mengenai penyakit Abak, akhirnya beberapa hari yang lalu, aku baru tahu(dari surat yuk Wati yang dikirimkan pada Kakak laki-lakiku di Bengkulu) kalau ayah sakit kanker ganas di tenggorokan. Aku pernah sekali menyaksikan abak muntah darah saat aku hendak pergi ke sekolah.
Kami, tujuh beradik. Sementara aku anak bungsu. Jadi, aku yang paling kecil ini memang tidak tahu menahu urusan Abak dan Emak. Tapi, paling tidak ketika remaja inilah aku turut andil dalam keluarga.
Tidak ada yang tahu rencana Allah SWT. Hingga, ketika aku tak pamitan sama ayuk Wati kalau hari ini aku ke tempat Agus. Teman sekolahku di kelas 3. 6 SLTP negeri 29 Palembang. Maka, saat pulang dari rumahnya, tetanggaku mengabarkan kalau Abak sudah tiada.
Aku pulang ketika ayuk Wati terpaksa pulang lebih cepat dari rumah majikannya karena ayah kami meninggal dunia. Juga kak Budi yang sudah berada di kuburan untuk mengurus pemakaman ayah. Aku sendiri dengan mata berkaca-kaca telah sampai di depan pintu rumah yang sudah banyak dipenuhi tetangga.
"Halim, kamu kemana saja. Kenapa pergi dari rumah begitu saja. Sampai Abak meninggal kamu nggak tahu."
Astarfirullah. Aku benar-benar shock. Sedih. Ayah mengembuskan napasnya yang terakhir. Tapi kejamnya aku, aku tak berada di sampingnya. Wajah ayuk Wati kini telah basah, berikut kulihat 4 saudaraku yang ngumpul. Kakak laki-laki dan Kakak perempuanku terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka ketika mendengar kabar Abak meninggal. Bahkan, kak Arsal harus pulang dari Bengkulu karena dia memang merantau disana.
"Aku...aku..."
Halim. Seperti itulah aku biasa dipanggil. Aku lalu bergegas ke kamarku. Memandangi langit-langit kamar. Tetes-tetes air mata sudah tumpah ruah sejak tadi, dan kini kembali lagi menetes. Tiba tiba kudengar ketukan pintu dan suara Yuk wati terdengar amat membahana.
"Sudahlah, jangan menangis terus. Abak la tenang disana. Sebaiknya kamu pake sarung. Ambil Yasin dan doakan Abak."
Aku hanya terdiam di kamar. Sambil air mataku berlinangan tanpa henti. Aku ambil buku Yasin, lalu keluar kamar, lalu mendekat pada tubuh Abakku yang sudah diselimuti kain.
Sebagai layaknya anak, akhirnya aku berdoa, semoga Abak diberi kehidupan yang layak disana. Dan disini, aku tetap mendoakan.
Usai berdoa, aku hanya memeluk Emak. Emak sama sekali tak menangis dan hal itulah yang membuatku masih berlinang air mata.
Hidup belum tuntas sampai disini, karena masih ada episode-episode kehidupanku yang jauh dari kata indah.
Lalu, kemalangan apa lagi?
Aku akan menceritakannya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Esok hari
Roman pour AdolescentsSetelah kematian sang ayah, Mursal harus bergulat kesusahan dalam hidup. Dari mengurusi ibu yang lumpuh, sampai berpikir apakah ia bisa meneruskan sekolah atau tidak, lantaran tak ada yang membiayai sekolahnya lagi begitu tulang punggung keluarganya...