Satu

10K 652 9
                                        

"Misha!" Teriak seorang gadis berambut pirang menghentikan langkah Misha. Gadis itu berlari sedikit cepat untuk menyusul Misha. "Kamu ke mana saja! Aku sebal tidak ada teman!" Gerutunya sembari mencebikkan bibir kecilnya.

Misha tersenyum ramah kemudian terkekeh pelan menanggapi gerutuan gadis di sampingnya itu. "Maaf, Aku kemarin pergi ke rumah Nenek, menemaninya, Kamu tahulah, jadi cucu satu-satunya sedikit menyusahkan," sahut Misha sambil mengedikan bahunya tak acuh. "Kamu 'kan banyak teman Lusi, kenapa harus selalu bergantung padaku?" Tanya Misha kemudian melangkah pelan.

Gadis rambut pirang bernama Lusi itu semakin mencebikkan bibirnya. "Kamu juga tahu sendiri, tidak ada yang mau berteman denganku tulus selain dirimu," sahutnya sembari meringis.

Misha merangkul Lusi, menepuk-nepuk bahunya menguatkan.
"Ya sudah, kan aku sudah di sini. Jangan sedih ...," hibur Misha sembari tersenyum lebar.

Misha gadis cantik belasteran bernetra biru laut, dengan rambut coklat gelapnya. Misha tidak terlihat seperti gadis berusia dua puluh tahun, dia terlihat seperti enam belas tahun. Wajah dan bentuk tubuhnya sangat mendukung.

Dan Lusi adalah sahabatnya dari sejak mereka sekolah menengah pertama. Misha sangat dekat dengan Lusi, begitupun dengan Lusi.

"Sekarang ada kelas?" Tanya Lusi menatap Misha. Misha menganggukan kepalanya.

"Ada, tapi itu hanya kelas tambahan sih. Kalau tidak salah, kamu tidak ikut kelas itu," sahut Misha sambil terus berjalan masuk ke gedung Kampus.

"Berarti sia-sia Aku datang ke Kampus," keluh Lusi seakan sangat rugi datang ke Kampus. "Tapi kebetulan juga, malam besok kan party ulang tahunku. Sekalian bagikan undangan saja ya?" Lusi kembali berbicara sendiri.

"Terserah dirimu sajalah, Aku sudah terlambat. Nanti kabari saja kalau ada yang perlu aku bantu, oke?" Misha segera melangkah meninggalkan Lusi yang belum sempat menjawab pamitnya. Sebenarnya, Misha kurang suka dengan yang namanya party. Dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan membaca atau mengerjakan hal yang berguna. Dan dia yakin, Lusi akan memaksanya untuk datang, persis seperti tahun-tahun yang lalu. Misha berjalan pelan, mengacak buku yang ia bawa, bermaksud mengambil buku catatan yang ia pinjam dari teman kelasnya.

Huft ... Menyebalkan sekali.

Bruk

"Eh ... Maaf, saya tidak sengaja," ucap Misha sambil mengusap keningnya pelan. Apa yang sebenarnya dia tabrak? Tihang listrik kah? Atau manusia? Keras sekali.

Bak patung berjalan, orang itu sama sekali tidak menanggapi permintaan maaf Misha. Dia malah berlalu begitu saja dari Misha. Misha ingin mengumpat, tapi kembali ia tahan karena mengingat dirinya adalah anak yang baik di Kampus ini. Akan sangat tidak menyenangkan kalau orang-orang mendengarnya mengumpat.
Dengan hati yang dongkol, Misha kembali berjalan menuju kelas tambahan yang ia ikuti.

Misha masuk ke ruang kelas. Dia tersenyum pada setiap orang yang menyapanya dalam kelas. Misha duduk di bangkunya, dia mengambil buku catatan yang dia cari tadi.

"Misha, buku-ku mana?" Tanya seorang wanita berambut hitam dengan perut buncitnya.

Misha tersenyum dia sudah menemukan bukunya kemudian menyodorkan pada wanita di depannya. "Ini Nina, terimakasih. Bagaimana kabar bayimu? Sehat?" Misha tersenyum sambil bertopang dagu melihat si wanita itu.

Wanita bernama Nina itu menghela napas panjang sebelum duduk di bangku samping Misha. "Begitulah Mish, Bayi selalu sehat. Hanya saja--" Ucapannya tersendat, mata Nina berkaca-kaca seolah tak sanggup menyampaikan hal lainnya.

Misha bergerak mendekat, dia mengusap bahu Nina. Mata bulatnya menatap sendu pada Nina yang tampak rapuh itu. "Maaf, Nina. Bukan maksudku--"

"Tidak masalah, Misha. Hanya saja, hamil sendirian tanpa suami itu sangat berat. Rasanya aku ingin menyerah saja," ucapnya sambil menumpahkan air matanya.

Misha meringis, dia juga seorang perempuan. Kalau dia ada di posisi Nina, entah dia bisa kuat atau tidak. Rasanya dia juga ingin menangis melihat kondisi Nina yang sangat memprihatinkan. "Aku yakin, Kamu wanita yang kuat. Kamu akan menjadi ibu yang tegar. Aku selalu mendukungmu." Misha memberi semangat pada Nina. Misha mendekat kemudian mengusap air mata Nina. "Sudah, jangan menangis. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu." Misha memberi semangat pada Nina. Misha memang tipekal orang seperti itu. Dia perasa, penyayang, dan sangat mudah bergaul. Misha punya banyak teman. Namun yang paling dekat hanya Lusi saja.

Nina menghentikan air matanya dia mengusap matanya kemudian menarik napas panjang. Dia tersenyum lebar pada Misha dan dibalas senyuman yang tak kalah lebar darinya.

Entahlah, Misha memang terlahir dari keluarga berada. Namun, dia besar dengan pengasuh dan pelayannya. Orangtuanya tak cukup perduli padanya, tapi itu tak membuatnya berubah haluan menjadi anak nakal. Baginya, masih banyak cara lain untuk mengusir sepi. Kesepian bukan berarti mengharuskan dia lari pada jurang nista. Misha cukup pandai menjaga dirinya, dan Misha hanya akan berkeluh kesah pada Nenek satu-satunya.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Kelas selesai, dan senyuman Misha pun tak pernah luntur. "Nina, Kamu ingin aku antar pulang? Sekalian aku juga lewat jalur sana." Misha berjalan beriringan dengan Nina yang berjalan pelan karena perut buncitnya.

"Misha, jangan terlalu dekat denganku. Lihat, mereka terus menatapmu penuh mengejek. Aku tidak mau reputasimu jelek." Nina merasa tidak enak, karena dia hanyalah anak nakal yang kebablasan, sedangkan Misha anak aktif dengan segala kecerdasannya.

Misha mengedikan bahunya tak acuh. "Aku tidak perduli, toh kalau aku ada diposisimu, mereka akan lebih dari itu. Jangan perdulikan ucapan oranglain, karena mereka hanya bisa mencibir tanpa bisa mereka merasakan. Ayo," ajak Misha menggandeng lengan Nina supaya ikut dengannya.

Sampai di tempat parkir, Lusi sudah menunggui Misha di depan mobil Misha. "Kamu lama sekali!" Lusi berhenti berbicara menatap pada Nina dari atas sampai bawah. Kemudian dia beralih menatap Misha dengan tatapan penuh tanda tanya.

Misha menggelengkan kepalanya pelan, memberi isyarat agar Lusi diam. "Ayo Nina, Kamu duduk di belakang, ya." Misha kembali menuntun Nina untuk masuk ke mobil. Nina masuk lebih dulu, lalu Misha menghampiri Lusi.

"Kamu kenapa mengajak gadis nakal itu?" Bisik Lusi dekat Misha.

Misha menghela napas panjang. "Dia bukan gadis nakal, Lusi. Dia hanya pernah melakukan kesalahan dan dia sudah menyadarinya. Dia bertanggung jawab atasa kesalahannya. Jangan memandangnya sebelah mata. Mengerti?" Misha menatap sengit Lusi. Lusi diam tidak menjawab ucapan Misha. "Jika nanti aku ada di posisi Nina, apa kamu juga akan memandangku sebelah mata?" Pancing Misha menatap Lusi penuh selidik.

Lusi menggeleng keras. "Tentu saja tidak, Misha! Kamu tetap sahabatku, apapun yang terjadi. Lagipula, bagaimana bisa kamu hamil, sementara Kamu tidak punya kekasih," balas Misha menggerutu.

Misha geleng-geleng kepala. "Ya sudah, itu berarti bukan masalah kalau dia ikut bersama kita. Dia juga teman kita." Setelah itu Misha berlalu menuju kursi kemudi, disusul Lusi masuk di kursi sebelahnya.

"Maaf ya, Lusi sedikit kepala batu," ujar Misha tersenyum menyesal. Nina hanya tersenyum sungkan menanggapi permintaan maaf Misha.

Misha memasang seftbelt, begitupun dengan Lusi. Lalu mobil Mishapun mulai keluar dari halaman parkir Kampus.
Mereka bertiga pun mulai berbincang ringan untuk mencairkan suasana canggung mereka.

Misha bersikap seperti itu, karena Misha membayangkan jika itu menimpa dirinya. Sudah pasti Misha juga membutuhkan teman, sama seperti Nina.

Acidentally Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang