Sejak kecil aku memang berani bermimpi. Tinggi. Tinggi sekali hingga melampaui batas kemampuanku. Hingga banyak orang berkata, impianku tidak realistis. Nyatanya, impian-impianku memang tidak realistis. Seperti misalnya, saat SD aku pernah bermimpi menjadi seorang dokter spesialis bedah. Bermain dengan tempat pensil kain dan pulpen untuk memperagakan sebuah operasi pengangkatan peluru. Entah imajinasi dari mana yang aku dapatkan saat itu, tapi aku menikmatinya sebagai permainan sehari-hari. Kudengar banyak orang kehilangan orang tercintanya karena tak mampu berobat. Mungkin aku aku bisa membantu kalau aku punya ilmu kedokteran. Hingga suatu hari seseorang berkata "Menjadi dokter itu tidak hanya harus pintar, tapi juga harus kaya. Sekolah dokter itu mahal!" Kata-kata itu sungguh membuka mata anak-anakku yang polos. Saat ketika aku tak yakin bahwa aku cukup pintar untuk menjadi seorang dokter, aku justru bertanya sana-sini tentang seberapa mahalnya sekolah kedokteran itu. Sekitar tahun 1999, anak SD tentu tak punya akses internet, apalagi anak sepertiku. Aku hanya bertanya ke orang-orang yang aku percaya bisa memberikan jawaban yang kubutuhkan: guru. Seorang guru yang kutanyai berkata, "memang benar sekolah kedokteran itu mahal, tapi jika kau rajin belajar dan pandai, akan ada jalan untukmu yaitu beasiswa. Seperti hari ini, kau dapat beasiswa yang harus diambil di kantor pos" beliau tersenyum, kemudian mengantarku ke kantor pos kecamatan untuk mencairkan uang beasiswa yang saat itu akupun tidak tahu beasiswa apa. Ibu guru yang membawaku sepertinya sangat peduli padaku. Ia mengajakku mampir ke rumah beliau sebelum pergi ke kantor pos. Memberikanku sepasang kaos kaki baru yang sebenarnya milik anak perempuannya. Menyuruhku mengganti kaos kakiku yang lusuh dan melorot karena karet elastisnya sudah molor tak karuan.
Aku tak ingat berapa nominal beasiswa yang kudapatkan saat itu, tapi di sepanjang perjalanan dan ketika menunggu antrian di kantor pos, aku menyadari betapa menjadi seorang dokter itu biayanya sangat mahal. Kelas lima SD. Itulah pertama kali aku menyadari bahwa dalam kehidupan ini ada yang namanya orang kaya dan orang miskin. Pertama kali aku menyadari adanya economy gap di dalam kehidupan. Dan baru menyadari bahwa aku adalah anak miskin. Anak yang dilahirkan dari keluarga miskin. Aku menyadari, bahwa beberapa teman dibelikan tas baru setiap tahun ajaran baru, sedangkan aku tidak. Tapi sebelum hari kontemplasi di kantor pos ini, aku tidak pernah mengira bahwa itu adalah sebuah ketimpangan sosial. Aku menyadari bahwa ada buku tulisku yang tidak berganti selama 4 tahun hingga sampul kartonnya 'lemas'. Tapi, itu semua ideku. Aku tidak meminta buku baru kepada orang tua ketika masih ada halaman yang kosong. Pelajaran PPKn tidak banyak menulis di buku tulis waktu itu, ada LKS tempat latihan. Mengapa harus beli buku tulis baru jika buku lama masih banyak halaman yang kosong, pikirku. Orang tuaku tak pernah menyuruhku untuk menghemat, walaupun juga tidak pernah berinisiatif untuk membelikanku buku baru jika aku tidak meminta. Semua inisiatif datang dari aku. Ini semua aku sendiri yang mau. Dan aku tak pernah menganggap hal itu sebuah ketertinggalan, setidaknya sampai hari ini, hari kontemplasi kemiskinan di kantor pos saat pengambilan uang beasiswa.
Sorenya aku menonton sinetron sebentar, tentang seorang anak yang sakit dan dibawa ke dokter oleh orangtuanya. Orang tuanya menangis, semua keluarganya bersedih. Mereka menceritakan kepada dokter tentang kondisi anaknya dengan tangis dan kesedihan yang mendalam. Dokter mengangguk dan mengambil tindakan. Tapi, di akhir kisah, diceritakan bahwa nyawa si anak tidak terselamatkan. Seluruh keluarga menjadi sedih, menangis sejadinya. Diriku kecil juga ikut menangis. Aku menangis bahwa tidak semua orang yang sakit mampu dibantu oleh dokter. Dokter tak bisa menyembuhkan kematian. Tapi saat itu, aku sedih, bukan karena fakta bahwa sang dokter di sinetron tidak dapat menyelamatkan nyawa anak yang sakit tadi. Tapi, aku sedih karena akhirnya aku berfikir: seorang dokter dibutuhkan ketika ada yang sakit. Dan orang-orang yang menemui dokter adalah orang-orang yang sedang bersedih hatinya. Apalagi jika anggota keluarga yang ditangani tidak dapat ditolong. Lebih sedih lagi. Bagaimana perasaan dokter jika dikelilingi orang sedih itu dan ia tahu ia tidak bisa membantu? semalaman aku berfikir. Memikirkan biaya sekolah kedokteran dan kisah dokter sinetron yang tidak dapat menyelamatkan pasiennya, sedangkan ia dikelilingi anggota keluarga pasien yang bersedih. Aku berpikir, apa aku nanti masih bisa membantu keluargaku membiayai sekolah dokter dengan berjualan apel seperti aku membantu biaya sekolah SD ku sekarang? Apa nanti aku ikut bersedih ketika menemui banyak keluarga pasien yang bersedih? Kontemplasi panjang seorang anak SD kelas 5 akhirnya mencapai sebuah keputusan esok paginya.
Pagi hari selanjutnya, aku memutuskan untuk tidak lagi bermimpi menjadi dokter. Oh, aku masih bermain 'bedah-bedahan' organ tubuh dengan kotak pensil kain, namun di hatiku sudah tidak ada mimpi menjadi seorang dokter. Menjadi dokter itu penting dan dibutuhkan oleh orang banyak, tapi aku berpikir, aku ingin bahagia saja. Aku ingin dikelilingi oleh orang-orang yang bahagia. Aku tidak ingin menyampaikan berita buruk tentang vonis penyakit di hari-hari kerjaku. Aku ingin menyebarkan berita baik, keceriaan dan hati yang berbahagia. Kemudian, aku ingin menjadi seorang pemandu wisata. Sebuah keputusan hidup terbesar yang pernah kuambil. Aku ingin berada di tempat-tempat indah, menceritakan kisah indah dan menunjukkan pemandangan indah kepada orang-orang yang sedang berbahagia. Aku ingin melihat sekolah Nobita di Jepang dan berfoto di depan patung Conan Edogawa. Melihat dan berbicara langsung dengan bule seperti anggota boyband Westlife. Aku memiliki mimpi baru.
Mimpi ini kubawa hingga SMP, terlebih bu guru yang dulu kutanya tentang biaya sekolah kedokteran memberikan justifikasi bahwa biaya sekolah pemandu wisata itu lebih murah daripada sekolah dokter. Aku merasa, kali ini mimpiku cukup realistis rupanya. Ibu guru menambahkan, "kalau kamu ingin berkomunikasi dengan orang asing, entah itu orang Jepang seperti bahasa Doraemon, atau orang berbahasa Inggris seperti anggota Westlife, maka kamu harus belajar bahasa asing".
Aku semakin bersemangat. Semangat yang kubawa hingga SMP. Aku suka melihat lirik-lirik lagu asing yang ada di tabloid remaja. Tentu bukan aku yang membeli. Uang saku tak cukup untuk membeli majalah mahal kertas glossy dengan bonus poster artis idola itu. Aku hanya pinjam. Kemudian aku tulis di buku tulis khusus, beberapa lagu yang aku suka: Doraemon, Fukai Mori, Prayer (Ost. Autumn in My Heart), My Love (Westlife) dan First Love (Utada Hikaru). Serial Anime hari minggu pagi membuat Jepang mendominasi otak dan hatiku. Aku jatuh cinta dengan Jepang. Aku ingin bisa berbahasa Jepang.
Di sekolah, saat mengikuti ekstrakurikuler wajib –pramuka- aku belajar sandi rumput. Dengan merubah huruf romawi menjadi garis-garis lurus dan lengkung hingga setiap huruf terlihat seperti tulisan kanji (setidaknya di mataku). Aku antusias. Sering kali aku menulis curahan hati tentang "crush thing" dengan menggunakan sandi itu agar tidak terbaca oleh orang lain. Setidaknya mereka akan malas membacanya.
Cinta dengan Jepang semakin tumbuh ketika di masa puber awal usia 13 tahun ada serial TV lama Jepang yang diputar di televisi Indonesia: Itazura na Kiss. Hati puberku jatuh cinta pada tokoh Naoki. Membuatku berkhayal menjadi Kotoko, perempuan bodoh yang beruntung menjadi belahan jiwa Naoki. Aku suka Naoki yang pintar dan cool. Terlebih ketika dalam kisahnya diceritakan bahwa Naoki yang telah dewasa sukses menjadi seorang dokter. Naoki adalah fictional crush pertamaku. Dan Jepang adalah negara pertama yang membuat mimpiku menjadi lebih terarah. Membuat hal yang tidak realistis menjadi sedikit tertata secara strategis. Aku remaja sudah mulai sedikit memikirkan apa yang ingin aku capai dalam beberapa tahun ke depan. Aku mulai membuat mimpi menjadi tidak terlalu imajinatif. Aku mulai mengejarnya, secara nyata. Walaupun aku tahu langkahku masih sangat jauh.
YOU ARE READING
Anak Emas Mbok Eyek
Non-FictionAku memutuskan untuk menuliskan kisah hidupku. Perjuangan anak seorang tukang sayur miskin hingga mendapatkan pendidikan hingga S2 di Luar Negeri. Tuhan memberikan rizki kepada keluargaku melalui diriku.