Surabaya, 20 September 2018 pukul 08.07
Hari ini sudah sebulan lebih aku bekerja di kampus ini. Salah satu kampus top milik pemerintah. Aku senang dengan pekerjaanku. Aku suka penelitian, aku suka bertemu mahasiswa yang selalu bisa mengalirkan energi 'muda' kepadaku. Namun, tentu ada beberapa hal yang tidak sesuai ekspektasi.
Pertama adalah gaji. Aku paham dari dulu, gaji dosen memanglah tidak tinggi bila dibandingkan dengan gaji pegawai BUMN, NGO, Swasta Nasional, apalagi MNC. Tapi, sungguh tak kukira, di awal-awal masa kerjaku ini, take home pay (80% dari gaji pokok dikurangi pajak) hanyalah setengah dari UMK. Bukannya aku tidak bersyukur. Mendapatkan pekerjaan ini sungguh aku syukuri. Namun, nominal itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhanku hidup di kota metropolitan ke dua di Indonesia ini. Terlebih lagi, aku menopang kehidupan keluargaku di kampung halaman. Bantuan modal kerja ibu, yang kemudian ia putar dengan membanting tulang berjualan sayur demi menghidupi anggota keluarga lain, modal kerja keponakan yang sedang berusaha bangkit dari masa lalu yang kelam, serta modal kerja kakak yang walaupun usianya sudah kepala empat tapi masih memiliki kelakuan dan pola pikir remaja puber. Aku di sini sendiri, berusaha bertahan di lingkungan baru dan berjuang sekuat tenaga untuk bisa "fit in and be productive". Aku bekerja keras dalam kesendirian.
Oh, tunggu! Aku tidak sedang sedih. Hari ini aku menulis bukan karena sedih seperti dulu saat aku masih bekerja di Malang. Kali ini, aku menulis untuk melatih keterampilan menulisku dengan konsisten.
Well, aku lanjutkan dengan hal yang mengagetkan ke dua. Rekan kerja. Aku bersyukur, rekan kerja seangkatanku banyak yang periang. Mereka adalah orang-orang pandai yang suka bersenda gurau. Setidaknya itu yang kurasakan di depan mereka. Hal-hal lain yang mereka bicarakan di belakangku, bukahlah urusanku. Begitulah pendapatku sebelum siang itu, siang dimana aku mengetahui 'kepalsuan' dari beberapa orang. Siang itu, aku tersadar bahwa aku tidak bisa percaya dan "melisankan hatiku" di hadapan orang-orang ini. Orang-orang sepandai itu, ternyata tidak bisa menerima sebuah dinamika akademik. Mereka takut tersaingi. Takut bahwa dirinya akan kalah, walaupun aku tidak begitu paham, mengapa mereka menganggap kita sedang berkompetisi. Semestinya, menurutku, di lingkungan seperti ini, kita harus berkolaborasi. Ah, tapi itu hanyalah pemikiran naif. Karena realitanya, orang-orang pandai ini datang ke sini untuk mencari kemapanan, kehidupan nyaman yang tak mau diusik ketidakpastian, perubahan ataupun dinamika lingkungan. Mereka ingin santai, nyaman dan berstatus sosial tinggi. Untungnya, mereka produktif. Setidaknya, mereka bekerja untuk bangsa. Di sini aku belajar banyak hal, terutama untuk mengendalikan emosi, mulut (kata-kata) dan kewaspadaan dengan tetap mempertahankan sis 'fun' dan 'enjoying life'.
Ke tiga, teman satu tim. Aku sudah mengenal teman timku sejak lama. Dia seorang yang manis, baik, solehah, sangat sopan, dan lemah lembut. Semua orang yang melihat tentu kesan pertamanya adalah demikian. Hingga mereka merasakan bekerja sama dengan dia. Sungguh teramat lama karena kelemahlembutannya. Kami memiliki gaji yang sama, tapi pada kenyataanya, beban kerja tim 75% berada di pundakku. Ia terlalu ditolerir dan dimaklumi dengan banyak alasan. Di sisi lain, aku 'dikorbankan' dengan alasan kekuatan fisik yang lebih. Menurutku, ini tidak adil atas nama profesionalisme. Tapi, saat ini aku belum bisa bersikap apa-apa untuk hal ini. Kawan, teman timku satu ini rajin ibadah. Menurutnya, itulah yang sering menolongnya saat bekerja. Menurutnya, pekerjaan yang sedikit untuk dia adalah 'rejeki anak solehah' yang datang dari lain. Dengan manis dan lembut dia mengatakan demikian tanpa menghiraukan bahwa sebagian beban kerjanya itu dilimpahkan kepada teman se tim nya, yaitu aku. Apa benar, hadiah dari rajin beribadah adalah minuman yang terbuat dari keringat rekan kerjanya? Aku percaya, hadiah yang Tuhan berikan tidak demikian. Bagaimana mungkin Tuhan memberikan hadiah berupa keringatku yang asin ini kepada hamba-Nya yang rajin ibadah itu? Tidak, Tuhan tidak begitu.
Di tengah kerja keras untuk beradaptasi dan berupaya produktif di lingkungan baru ini, aku belajar banyak hal, salah satunya seperti yang aku tulis di bagian sebelumnya: menjaga emosi, perkataan dan kewaspadaan. Selain itu, aku juga berupaya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan lewat do'a, ibadah dan budi luhur. Semoga Tuhan selalu menyayangiku seperti yang sudah Ia lakukan selama hampir 30 tahun ini. Semoga Ia melindungi dan memberikan kedamaian hati kepadaku, senantiasa. Aamiin!
YOU ARE READING
Anak Emas Mbok Eyek
No FicciónAku memutuskan untuk menuliskan kisah hidupku. Perjuangan anak seorang tukang sayur miskin hingga mendapatkan pendidikan hingga S2 di Luar Negeri. Tuhan memberikan rizki kepada keluargaku melalui diriku.