No man is an island, this I know
But can't you see?
Maybe you were the ocean when I was just a stone
So here we are
And I don't wanna beg your pardon
And I don't wanna ask you why
But if I was to go my own way
Would I have to pass you by?
-- Ben Howard, Black Flies
Odense, 2020.
Minggu siang itu, di suatu bus yang melaju tanpa hambatan, dua pemuda Indonesia berusia pertengahan 20-an bercakap di kursi barisan terbelakang dalam bahasa yang tidak dimengerti penumpang selain mereka. Pemandangan yang jarang ditemui, kecuali ketika turnamen bulutangkis digelar di kota terbesar ketiga di Denmark tersebut. Suhu udara yang merendah seakan turut menguras energi para penumpang untuk berinteraksi dengan penumpang lainnya. Namun, tidak halnya dengan dua atlet bulutangkis itu. Berselimut mantel yang menyembunyikan pakaian berlabel sponsor penuh keringat, Anthony Sinisuka Ginting terlarut dalam dialog bersama kompatriotnya, Jonatan Christie. Ketika bus berhenti di lampu lalu lintas, percakapan itu pun terhenti sesaat.
Anthony memandang ke luar jendela, menyaksikan penghitung mundur lampu lalu lintas yang menyala merah. "Gak kerasa, Jo, udah dua tahun sejak... sejak itu."
Jonatan tahu ke mana arah percakapan ini. "Orang tua lo masih ada, kan? Lo beruntung, Nik," ujarnya sembari menatap layar ponsel yang dihiasi oleh foto kedua orang tuanya. Dua orang yang begitu berarti bagi Jonatan dan telah hilang diterpa angin, namun tak pernah hilang dari pikirannya.
Anthony merengut. "Bukannya bermaksud gak bersyukur, Jo. Gue tahu banyak yang bernasib lebih buruk dari gue. Tapi, tetap aja, gue gak bisa ngilangin siang di Istora itu dari ingatan," sinar lampu merah membayangi wajah Anthony yang berubah muram.
Istora Senayan. Sejak peristiwa Decimation, Anthony selalu mengundurkan diri dari turnamen Indonesia Masters dan Indonesia Open. Humas PBSI hanya menyampaikan kemundurannya tanpa alasan jelas. Namun, tanpa perlu keterangan mendetail, publik tahu mengapa Anthony enggan bermain di venue itu lagi. Beberapa orang memaklumi. Beberapa lainnya menghakimi.
Jonatan mengantongi ponselnya. "Lo udah coba ikutan support group? Kali aja mereka bisa bantu."
"Gue ikut macem-macem grup, tapi hasilnya sama aja. Masa gue harus terbang ke US buat ikutan grupnya Steve Rogers. Lo yang sponsorin, sana."
Seulas senyum terukir di bibir Jonatan. "Kalo demi kebahagiaan lo, gue rela kok ngabisin duit sampe gue jatuh miskin."
Anthony menggerutu, tak terhibur sedikit pun oleh kalimat Jonatan. "Gue masih bisa memenangkan pertandingan, tapi gue belum bisa mengalahkan amarah dalam diri gue."
Jonatan mengernyitkan alis. "Memangnya kenapa lo marah? Bukan salah lo juga, kan, kalo Viktor jadi debu."
Anthony terpaku di tempat duduk. Denyut jantungnya menderu. Memori kelam Indonesia Open dua tahun silam berputar dalam pikirannya, bagaikan film horor yang dipangkas hingga adegan-adegan seram saja yang tersisa. Telinga Anthony tak mendengar bunyi lain selain sahutan, erangan, dan bisikan yang membaur menjadi satu. Wajahnya memucat. Butiran debu menimpa manik kehitaman Anthony. Pandangannya mengabur. Anthony merasakan debu di sekujur tubuhnya, debu yang dulunya adalah bagian dari-
"Nik?"
Tersadar dari kilas balik, pria asal Cimahi itu menarik napas, lalu memindai apa saja yang ada di sekelilingnya. Jendela. AC. Kursi. Tas ransel. Jonatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
.the second sight.
FanfictionAnthony Sinisuka Ginting yakin dia berhalusinasi saat melihat penonton berubah menjadi abu. Namun, saat butiran abu itu tertiup angin dan membuat matanya perih, dia menyadari bahwa semua ini bukanlah ilusi. (Infinity War AU - out now) an anthology o...