Kali ini aku benar-benar dibuat tersihir oleh pesona akhwat jilbaber yang kini sedang duduk berseberangan denganku. Kulitnya yang berwarna sawo matang dengan mata yang teduh dibalik kacamatanya membuat hatiku berkali-kali mengagumi ciptaan-Nya itu. Dia tampak tertunduk malu ketika tersadar aku sedang memandanginya. ‘Astaghfirullah’ berkali-kali aku beristighfar dalam hati karena telah gagal menundukkan pandangan mataku. Pesona gadis manis itu telah membuat mataku sulit untuk berpaling. Aku segera tersadar akan keimananku yang masih jauh dari kata sempurna.
“Nak Farhan, ini Aisyah keponakan saya yang In Syaa Allah akan berta’aruf dengan antum’’. Seketika ucapan Ustadz Na’im membuatku kembali ke dunia nyata. Belum sempat aku mengucapkan sepatah katapun gadis yang bernama Aisyah itu sudah lebih dulu angkat bicara. “Sebelumnya saya mohon maaf atas kelancangan saya ini, tapi saya tidak ingin melanjutkan proses ta’aruf ini sekali lagi saya mohon maaf pada semua yang ada di sini termasuk paman, bibi, dan khususnya antum Akhi farhan.”
Dengan berlinangan air mata Aisyah meninggalkan kami. Ekspresi kaget tergambar jelas di wajah semua orang yang ada di sana. Orang tuaku juga terlihat sangat syok. Proses ta’aruf ini bahkan belum berlangsung, namun Aisyah mengakhirinya begitu saja.
“Apa-apaan ini? Apa kedatangan kami kesini hanya untuk dipermalukan?” Ucap Ayah melampiaskan kemarahannya. Hanya kebisuan yang menjadi jawaban. Aku yang seharusnya mejadi orang yang paling bahagia hari ini mendadak merasa dipermalukan. Dengan tanpa mengenal lebih jauh tentangku, Aisyah langsung menolakku mentah-mentah di hadapan semua orang. Ucapannya masih membuat dadaku nyeri meski ia mengucapkannya dengan cara yang halus. Adakah yang salah denganku? Hati kecilku masih menginginkan sebuah jawaban untuk pertanyaan sederhanaku itu. Keluarga Ustadz Na’im hanya bisa meminta ma’af berkali-kali karena hal itu juga diluar dugaannya. Dengan segenap kekuatan yang tersisa aku masih berusaha tegar di hadapan semua orang, lagipula aku menyadari bahwa proses ta’aruf ini memang keinginan kedua orang tua kami. Namun tidak dengan ayahku dengan perasaan kecewanya ia langsung keluar dari rumah Ustadz Na’im dan menuju mobilnya.~ * ~* ~
Sudah hampir satu bulan sejak proses ta’arufku yang gagal. Kini aku kembali menjalani kehidupanku sebagai seorang aktivis dakwah. Siang itu cuaca di Kota Bandung sangat tidak bersahabat. Panasnya sang surya seakan ingin membakar habis kulit orang-orang yang berlalu lalang di luar ruangan. Kupercepat laju mesin motorku menuju gedung apartemen. Aku ingin segera merebahkan tubuh setelah selesai melakukan aktivitas harianku. “hufft” aku bernafas lega ketika aku mulai memarkirkan motorku. Kupercepat langkah kakiku menuju lift yang akan membawaku ke ruang apartemenku. Aku merasa lega ketika lift itu kosong dan akulah satu-satunya penghuni lift saat itu, namun belum sempat lift berjalan tiba-tiba pintu lift kembali terbuka. Seorang wanita dengan sedikit terburu-buru memasuki lift. “deg.” Mataku terbelalak kaget menyadari siapa wanita yang baru saja masuk itu.
“Ukhti Aisyah!” Pekikku perlahan. Ia yang sejak tadi menunduk juga tak kalah kagetnya denganku. Sesaat kemudian ia tersenyum. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami.
“Ceramahnya bagus Akhi, sangat memotivasi.” Ucapnya kemudian.
‘Ceramah? Memotivasi? Darimana dia tahu kalau aku habis mengisi acara di sebuah Yayasan Tuna Netra?’ hati kecilku membutuhkan jawaban untuk semua pertanyaan itu. tapi entah mengapa aku merasa segan untuk bertanya terlalu banyak padanya. Dia kembali tersenyum kecil seakan tahu gejolak di hatiku.
“Tidak usah heran seperti itu Akhi, kebetulan tadi aku juga dipercaya untuk mengisi acara itu, tapi karena kamu terlambat jadi kamu tidak melihat saya.” Jelasnya panjang lebar. Wajahnya tampak ceria, seperti yang selalu dikatan Ustadz Na’im bahwa keponakannnya itu memang gadis yang ceria. ‘Astaghfirullah.’Lagi-lagi aku teringat kejadian itu.
“Saya tidak tahu kalau ternyata kamu juga tinggal disini. Dua minggu yang lalu saya pindah ke apartemen ini karena lebih dekat dengan tempat kerja saya.” tambahnya.
Aku masih tidak habis pikir kalau ternyata kami tinggal di apartemen yang sama. Aku juga baru pindah ke apartemen ini sekitar dua minggu yang lalu. Betapa sempitnya dunia ini hingga aku selalu dipertemukan dengan seseorang yang kukira adalah takdirku. Aku juga masih tidak percaya diantara begitu banyak apartemen mewah mengapa Aisyah lebih memilih apartemen ini. Apartemen yang juga kupilih sebagai tempat tinggal selama sekitar setengah tahun ini sebelum aku melanjutkan studi ke Timur Tengah. Dan mengapa dalam waktu yang bersamaan pula? Adakah ini adalah takdir? Atau hanya kebetulan? Sungguh itu adalah pertanyaan yang hanya mampu dijawab oleh waktu. Sesaat kemudian pintu lift terbuka.
“Kalau Akhi ada waktu tolong temui aku di restoran apartemen hari minggu jam tujuh pagi!” ucapnya sebelum meninggalkanku di dalam lift.
Aku hanya terdiam mendengar ucapannya yang bahkan tidak kumengerti tujuan dan maksudnya hingga kususuri jalan menuju kamarku dengan berjuta tanya yang tiada jawabnya.~*~*~*~*~
Tepat seperti hari yang diminta oleh Aisyah, Minggu itu aku batal menikmati hari liburku bersama dunia literasiku di kamar. Entah mengapa tanpa banyak berpikir aku menyetujui permintaan Aisyah. Hampir setengah jam aku menunggunya di restoran apartemen, namun ia belum juga datang. Tidak kusangka seorang magister psikologi lulusan Universitas Munchen seperti dia juga bisa tidak tepat waktu. Sesaat kemudian dua orang wanita dengan pakaian muslimah memasuki pintu masuk restoran. Seorang wanita berjilbab peach dengan gamis coklatnya tampak sedang mencari-cari seseorang. Dia adalah Aisyah yang menyunggingkan seulas senyum ke arahku ketika menyadari keberadannku. Aku bersyukur karena ia terpikir untuk mengajak seorang teman agar tidak terjadi fitnah diantara kami. Diam-diam aku mengagumi pemahaman agama keponakan Ustadz Na’im itu. Kali ini ia datang bersama Seorang wanita dengan gamis biru muda dan jilbab putihnya yang hanya menunduk. Aisyah kembali tersenyum sebelum duduk di hadapanku.
“Ma’af Akhi agak terlambat karena tadi menunggu Ukhti Via datang.” Ucapnya memberi alasan. “ Oh iya Akhi Farhan ini Ukhti Via, Ustadzah sekaligus teman saya, Ukhti Via ini Akhi Farhan.” Lanjutnya memperkenalkan kami.
Sementara aku hanya menganggukkan kepala untuk menghormati gadis itu yang bahkan hanya sedikit tersenyum.“Tidak apa-apa, kalian ingin memesan apa?” ucapku sekedar basa-basi.
“Kami tidak ingin memesan apapun lagipula kami buru-buru karena ada acara di Majelis”. Jawabnya. “Ngomong-ngomong apa Akhi Farhan tidak ada jadwal hari ini?” Ia balik bertanya.
“Kebetulan sedang libur.” Jawabku singkat.
“Saya rasa tidak perlu basa-basi saya akan langsung mengatakan maksud dan tujuan saya meminta Akhi Farhan datang ke tempat ini.” Ucapnya mengawali pembicaraan serius kami.
“Akhi, sebelumnya saya minta ma’af tentang kejadian tempo hari yang mungkin tidak berkenan di hati kamu. Saya hanya ingin Akhi Farhan tahu alasannya, setelah itu terserah apakah pintu maaf itu ada atau tidak untukku. Mungkin saya tidak sanggup menuturkannya dengan bahasa lisan, tapi saya sudah menuangkan semuanya disini, semoga kamu berkenan membacanya.” Ucapnya sambil menyodorkan kertas kecil berwarna pink. Kulihat wajahnya tampak menyembunyikan riak kesedihan.
“Assalamu’alaikum, Ustadz Farhan.” Ucapnya sebelum meninggalkanku yang tinggal bersama kebisuan.
Setelah ia berlalu, aku langsung membuka suratnya di tempat itu juga.Untuk Akhi Farhan yang dirahmati Allah
Akhi, bersama gugusan bintang malam yang cerah ini akan kututurkan kisah hidupku yang penuh liku hingga tiada lagi kesalahfahaman diantara kita. Di usia remajaku aku tinggal bersama keluarga di yang broken home dan sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Hingga suatu ketika ayahku membawaku ke Jerman. Saat pergaulan bebas mewabah muda-mudi disana aku juga merupakan bagian di dalamnya, ya inilah aku seseorang yang kini berhijab panjang adalah mantan pendosa. Hingga enam bulan yang lalu aku kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Ukhti Via yang saat itu satu pesawat denganku. Hidayah datang padaku dan aku mulai mengenal agama ini melalui dia. Suatu hari yang indah aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling beruntung ketika pamanku ingin menjodohkanku dengan murid kesayangannya, dan pembaca surat inilah orang itu, orang yang kukira adalah takdirku, namun Allah punya rencana lain. Setelah merasa kesehatanku kurang baik dua bulan yang lalu aku cek kesehatan dan hari itulah hasil cek kesehatanku datang, hari dimana aku seharusnya berta’aruf denganmu. Aku positif terinfeksi HIV. Itulah alasan mengapa aku meninggalkanmu. Akhi...Jika langit dunia menjadi pemisah antara takdir kita maka biarkan surga Akhirat mempertemukanku denganmu. Maaf atas kelancanganku ini Akhi Farhan semoga kamu berkenan memaafkan segala khilafku. Juga sampaikan maafku untuk orang tuamu Akhi agar dihari kepergianku aku merasa tenang. Hari ini aku akan kembali ke Jerman. Akan kunikmati hari-hari terakhirku disana agar tidak membuat aib bagi keluarga paman dan bibi di sini. Aku akan selalu menantikan hari bahagiamu Akhi.
Dariku yang pernah memimpikanmu
AisyahKututup suratnya yang penuh kepiluan. Aku menyadari tentang kesalahanku yang tidak mampu memahami keadaannya. Itulah dunia yang didalamnya penuh kisah yang sarat akan makna hingga ada hari dimana orang tidak mampu menuturkan suara hatinya dengan bahasa lisan hingga hanya sang hati sendirilah yang menyuarakan tentang egoisnya sang takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Pembatas Takdir
Narrativa generaleKisah cinta yang dibungkus nuansa Islami yang menceritakan perjalanan seorang Ustadz muda dalam mencari cinta sejatinya. cerita ini tdk dianjurkan untuk dibaca oleh anak" dibawah 21 tahun, meski tidak mengandung unsur dewasa cerita dikhawatirkan mem...