Kembali

5.8K 666 69
                                    

"Jadilah istri yang baik, menurut dan berbakti pada suami." Kata-kata ayah masih terngiang di telinga, ragu aku melangkah, mengikuti pijakan Regan menuju pintu.

Terbuka sudah benda tinggi itu, menampakkan seisi rumah yang kurindukan, megah dan menyejukkan. Aku sadar, separuh jiwaku memang sudah melekat di sini.

Suasana memang lengang, selepas kepergianku mungkin hanya ada bu Ranti, Regan dan bibi asisten di sini. "Kok Mama gak ada, sih?"

Regan tak menjawab, ia malah meraih tanganku, menggenggam pergelangan lembut. Bibirnya tersenyum manis sekali, membuat darahku berdesir sesaat.

"Ikut saja," dia berbalik, menuntunku untuk terus ikut. Aku tersenyum tipis.

"Ma ...." dadaku berdebar lagi, takut bu Ranti kecewa atau memarahiku.

Wanita yang duduk di kursi, membelakangi kami sekarang berdiri, menutup majalah dan meletakkannya di atas meja. Aku menelan ludah, sumpah aku takut dan merasa berdosa.

Ia berbalik, tubunya masih saja cantik, dibalut dengan gamis polos dan kerudung instan, bibirnya merah muda alami. "Hmmm, nakal ...!" Bu Ranti menggeleng-geleng, mataku berair saat ia mengulurkan kedua tangannya.

"Maaf ... Ma," kataku meneteskan air mata saat tubuhku sudah berada di pelukannya.

"Mama yang minta maaf, perasaanmu pasti sakit." Bu Ranti mengelus punggungku lembut, air mataku makin deras.

"Meysa mengacaukan acaranya,"

"Enggak sayang," ucapnya melepaskan pelukan, mengusap air mataku. Kasih sayang terasa begitu besar.

"Regan, apa sudah meminta maaf?"

"Udahlah, malah udah jadi tukang ojol sampai ditinggal di atas genteng," sahut Regan pelan, aku menoleh karena masih bisa mendengar, memelototinya.

"Apa katamu, Regan?"

"Ah ... tidak, Ma. Regan sudah meminta maaf," ujarnya lagi, memamerkan senyuman manis.

"Maafin Regan ya, Mey. Mama juga," ulang bu Ranti, aku menggeleng, ini bukan kesalahan mereka berdua, hanya aku saja yang hilang kendali.

"Istirahat saja dulu, Mama akan suruh Bibi masak seafood untuk makan malam kalian berdua."

"Jangan masak seafood, Ma! Meysa suka alergi." Aku berbalik dengan cepat, Regan masih ingat? Ah ... aku tersipu.

"Oh, maaf. Mama gak tahu, sayang. Ah, oke-oke, mau dimasakin apa, Mey?"

"Aduh, apa saja, Ma. Asal jangan seafood, hehe," kataku malu, bu Ranti mengelus rambutku lembut, lalu menyuruh kami beristirahat terlebih dulu.

"Ayo," ucap Regan mendahuluiku, menaiki tangga yang penuh dengan kenangan.

Aku pamit pada bu Ranti sebelum mengekori Regan, pelan kakiku memijak anak tangga, seraya menatap punggung Regan sesekali.

Aku ikut terhenti saat Regan menjeda langkahnya, mataku menatap heran melihat ia berbalik seraya mengulurkan tangan.

"Berikan tanganmu!"

"Hmm?" Aku mengernyit. Regan meraih tanganku tanpa menunggu aku mengulurkannya.

Ia merogoh sesuatu dari saku celana, sebuah cincin putih tipis nampak diapit kedua jarinya, aku mematung saat Regan memasangkannya ke jari manis.

"Ah ... untungnya kamu tidak bangun saat aku mengukur jarimu. Pas, kan?"

"Anggap saja, ini tanda janjiku. Kalau aku takkan pernah menyakiti hatimu lagi," sambungnya sambil tersenyum, sedangkan aku masih mematung.

"Hey!" Regan mengusik pandanganku dengan telapak tangannya.

Kalau Cinta, Jangan Gengsi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang