Senja untuk Kita

6.6K 567 109
                                    

"Kegedean itu!" Regan berkomentar, membuat Luki mengerutkan kening, kedua bahunya terangkat bersamaan dengan kedua telapak tangan yang juga ikut menengadah ke atas.

"What?" katanya pelan.

"Cocok, kok!" Aku mengacungkan jempol, Regan mengusikku dengan bahunya, sontak aku menoleh.

"Sakit, tahu!" ucapku mengelus sudut bahu.

"Hanya aku yang boleh menilai baju Luki!" katanya galak, aku mencibir saja, tanpa ia tahu hatiku bahagia mendengarnya.

Aku mengetuk-ngetuk kaki, bosan menunggu Yura yang tak kunjung datang dengan baju pengantinnya.

Tapi, penantian itu tak berujung lama, gorden yang tadi tertutup kini menampakkan seorang wanita cantik dengan gaun yang begitu elegan, aku terpesona sampai tak bisa mengedipkan mata.

"Bagaimana? Bagus, gak?" Yura memutar tubuh.

"Cantik ...." gumamku terpana. Yura terkekeh mendengar pujianku.

Luki mendekat pada kekasihnya, ia juga memuji Yura dan menginginkan gaun itu dipakai di acara akad nanti.

"Aku jadi ingin menikah lagi," ujar Regan, membuatku menoleh dan mengernyitkan dahi.

"Hih, aneh!" kataku mencibir, tak memandang lagi wajah indahnya.

Tiba-tiba Regan menarik lenganku, membawaku ke seorang pelayan wanita. "Mbak, bisa tolong carikan gaun juga untuknya?"

"Regan!" Aku setengah membentak, menatapnya heran.

"Bawa saja dianya, Mbak. Saya akan mencari jas dan kemeja yang pas," katanya membuatku semakin melotot.

Aku hendak berteriak memakinya, tapi pelayan itu telanjur membawaku pergi menjauh, kulihat Regan melambaikan tangan, aku memonyongkan bibir.

"Silakan, Mbak. Mau yang seperti apa modelnya?" Aku mengembuskan napas, mengingat Regan yang seperti kehilangan setengah warasnya.

Kucoba mengusir rasa kesal dengan berjalan pelan, melihat-lihat gaun yang masih menempel di tubuh mannequin. Semuanya memang terlihat indah, sampai-sampai aku dibuat terlena.

"Yang ini bagus," kata wanita itu, menunjuk gaun bergaya Cinderella.

"Ah ...." aku menggaruk rambut, bingung. "Saya tidak suka pakaian yang terlalu terbuka," lanjutku jujur.

Pelayan itu mengangguk, lalu kembali menemaniku berjalan. "Mbaknya juga mau nikah?" Aku terkesiap mendengar pertanyaannya.

"Aduh! Sebenarnya kami sudah menikah," balasku malu, wanita itu nampak menautkan kedua alisnya yang terukir indah.

"Jadi?"

"Ah ... entahlah! Turuti saja, mungkin dia sedang ingin bermimpi," ucapku asal, kembali memilih gaun yang berserakan di hadapan.

Langkahku terhenti saat melihat penampakkan gaun yang begitu anggun menutupi seluruh tubuh, bahkan bagian lengannyapun terlihat panjang, seperti gaun yang kuimpikan.

"Yang ini saja, Mbak."

"Ah ... ya." Wanita itu mendekat pada gaun yang kutunjuk, tapi pekerjaannya terhenti saat seorang pelayan lain menghampirinya, membisikkan sesuatu pada telinganya.

Wanita itu mengangguk dan tersenyum sedikit lebar saat teman kerjanya itu menyudahi bisikkannya, aku sedikit penasaran, tapi segera kutepis pikiran yang melayang-melayang. Toh, itu urusan mereka.

"Mbak silakan tunggu di ruangan ganti, ya?" Tanpa menjawab aku menurutinya, berjalan beberapa langkah ke ruangan yang ditutupi gorden tebal berwarna hitam.

Kalau Cinta, Jangan Gengsi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang