BAB 8 - Pengakuan Masa Lalu
🍥🍥🍥
Sheila menghempaskan badannya pada kursinya. Menghadapi Bian itu butuh tenaga, padahal ini masih pagi. Belum lagi nanti kalau dia ketemu sama Bian, lagi?
Sheila mengeluarkan beberapa buku pelajarannya, persiapan sebelum bel masuk. Sambil sesekali teman sekelasnya menghampirinya hanya untuk bertanya kejadian yang sedang hits tadi pagi.
"Sheil, lo beneran pacaran sama Bian?
"Eh, kok lo bisa jadian sih?"
"Kalian itu benci tapi cinta, ya?"
"Lo pakai pelet apa sih? Bisa bikin Bian kelepek-kelepek sama lo?"
"Wah, selamat ya Sheila. Akhirnya kalian jadian juga. Capek lihat kalian berantem terus."
"Yaah, sekarang gak ada aksi berantem lo sama Bian lagi, dong? Yang ada malah aksi mesra-mesraan kalian berdua."
"Sheilaaa, gue nggak nyangka kalian beneran jadian. Selamat yaaa. Semoga langgeng deh."
Dan masih banyak lagi teman sekelas mereka yang datang hanya untuk mengkonfirmasi. Sheila ingin sekali memasang papan pengumuman untuk konfirmasi semua berita miring tentangnya. Untung saja otak Sheila tidak miring.
"Yaa Tuhan, kapan semuanya selesai? Bian selalu aja ada ulahnya," keluh Sheila.
"Kalau boleh milih sekaranh, mending gue 1 SMA sama Bang Haidar aja deh. Gak pa-pa kalau gue harus dibandingin sama abang sendiri, daripada harus ketemu dan lihat ulah Bian kayak gini terus. Hhhhhh." Sheila menggerutu, berniat untuk mengubah takdirnya di masa lalu. Demi apapun, Buan sudah membuat Sheila kehilangan minatnya untuk datang ke sekolah.
Pasti sebentar lagi, Sheila akan menjadi tokoh terkenal bagi netizen sekolahannya.
"SHEIL!!!" teriak gadis dari ujung pintu. Ah, Sheila sudah busa menebak siapa yang memanggilnya.
"Apa, sih, Tar? Nggak usah teriak gitu. Capek telinga gue dengerin suara netizen pagi ini," keluh Sheila.
Tari yang baru saja duduk di samping Sheila langsung memegang bahu Sheila. Tari harus bicara.
"Abisnya lo pagi-pagi udah kasih asupan buat netizen sih. Gue kan yang berasa ikutan jadi netizen malah makin kepo. Jadi, yang tadi baru aja digosipin itu ....," Tari menggantungkan perkataaanya.
"Apa?" tanya Sheila pura-pura tidak paham.
"Lo tuh. Giliran ditanya gini malah pura-pura nggak tau. Jadi bener apa nggak yang digosipin itu?"
"Itu?"
"Sheilaaaa! Plis, deh. Jangan lemot. Gue yakin otak lo nggak lemot-lemot amat, jadi tolong responnya cepat," usik Tari. Melihat sahabatnya yang tidak peka.
"Ya ini, nih, kelakuan netizen. Suka ambil kesimpulan sendiri. Giliran minta konfirmasi, malah nanya nya setengah-setengah, ngga bisa tuntas. Gimana mau dapat kepastian? Gimana mau dapat info yang valid? Jadi, lo kalau mau ngomong yang jelas, lengkap, gampang dipahami. Biar yang dengar nggak salah paham dan ambil kesimpulan yang menurutnya benar, bukan menurut orang lain. Memang ya netizen yang sok tau masih hidup aja di zaman berflower ini," ujar Sheila panjang lebar. Kenapa jado Sheila yang menasihati Tari. Padahal kan, Tari ingin meminta kepastian.
"Kebanyakkan omong lo, nggak menjawab pertanyaan gue."
"Lo aja kalau nanya ga pernah selesai, udah keburu minya jawaban."
"Hhhhh. Yaudah, gue cuma mau minta konfirmasi aja nih ya. Barusan gue denger anak-anak di koridor pada ngomongin lo sama Bian. Katanya lo sama Bian tadi pagi berangkat bareng?" tanya Tari.
Sheila hanya mengangguk. Jelas saja benar.
"Terus Bian bilang kalau kalian pacaran?"
Sheila berusaha membuang arah pandangannya. Pertanyaan yang seperti ini harus dihindari. Sheila bingung harus menjawab apa.
"Gue nggak tau," jawabnya asal semata hanya ingin membuat Tari tidak bertanya lagi.
"Ihhh, gue butuh yang pasti. Bukan yang ambigu kayak jawaban lo barusan," aahut Tari.
"Ya, gue juga nggak tau harus jawab apa. Bian minta gue jadi pacarnya juga sepihak. Gue cuma nggak mau sakit untuk kedua kalinya, Tar," jawab Sheila.
Dia ingat betul bagaimana rasanya kehilangan Bian, walalupun dulu mereka sebagai musuh, tapi Bian yang selalu ada untuk Sheila.
"Tapi kan lo sama Bian udah kenal sejak kecil. Mungkin aja dia sekarang suka gangguin lo, karena dia pengen dekat lagi sama lo."
"Setelah dia ninggalin gue, gitu?"
"Sheila, dia pasti punya alasan. Jangan jadikan perpisahan sebagai suatu penyesalan, karena Tuhan udah menyiapkan sesuatu yang lebih indah, yang mungkin nggak pernah lo duga sebelumnya."
"Lo jadi bela dia sekarang?"
"Bukan maksud gue seperti itu."
"Lo tau nggan sih, Tar. Dia itu orang pertama yang mau jadi teman gue, orang pertama yang nemenin gue, orang pertama yang bikin gue nangis karena sering dijahilin, orang pertama yang bela gue waktu kecil pas anak komplek gangguin gue, dan ... orang pertama yang ninggalin gue, lalu balik lagi sakan-akan nggak terjadi apa-apa," jelas Sheila. Dia tidak mau lagi berharap pada Bian.
Biarkan saja gosip itu menyebarluas. Toh, nanti akan padam sendirinya. Terserah saja Bian bertindak seperti apa, bahkan biarkan saja Bian mengambil hati mamanya, yang jelas Sheila tidak mau terperangkap dal dunia Bian lagi.
"Sheila, gue paham-"
"Lo nggak paham, Tar. Karena takut kehilangan lagi, gue terpaksa melepaskan apa yang gue miliki sekarang. Sebelum gue terlanjur sayang, dan kehilangan."
🍥🍥🍥
Yayyy.. Menjelang pemilu ini aku update. Masih pada nungguin kan?
Maaf yak, td malam janjinya bakal apdet malam, tp aku ketiduran :")) dalam posisi masih ngetik heheh
disini aku mau bkin Sheila nolak Bian duli, terus mau lihat usaha Bian dekatin Sheila. Gimana?
Atau langsung bikin mereka saling terima aja,terus tinggal bkin adegan mesra-mesra dan berantem mereka ala remaja gitu? :'))Yuuk yuuuk kasiih saran.. Jangan lupa komentarnya yaa..
Dan.. Jangan lupa masih preorder cerita SHALNA SASIKIRANA YAAAAAA :")
Love yoooou!! ❤❤
Semoga sukaa yaaa..
-elaabdullaah-
KAMU SEDANG MEMBACA
🍥 Incredible Boyfriend 🍥 (Teenager Series)
Teen FictionIncredible Boyfriend Bian Melvaga Malas pacaran, kecuali sama lo. Cinta gue ke lo tuh udah kayak kamera, kalau udah fokus ke satu orang, yang lainnya ngeblur. Sheila Faresta Tali sepatu mengajarkan kita, bahwa sesuatu yang diikat terlalu erat, ujung...