Pangeran Kian Liong sama sekali tidak pernah mengira bahwa perjalanannya menuju ke Kim-coa-to itu sebetulnya selalu dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak para pendekar yang diam-diam melindungi maupun pihak lawan yang mencari kesempatan untuk menyeretnya ke dalam lumpur.
Oleh karena itu, dengan wajah berseri gembira pada hari berikutnya, Pangeran Kian Liong meninggalkan rumah gedung pembesar Tung-king, diantar oleh pembesar itu sampai keluar pintu gerbang, menunggang kereta dan dikawal oleh Souw Kee An dan dua puluh orang pengawalnya. Karena Pangeran Kian Liong paling tidak suka disanjung-sanjung dan disambut oleh rakyat di sepanjang perjalanan sebagai seorang pangeran yang harus dihormati, maka dia pun lalu menutup pintu dan tirai kereta dan duduk sambil bersandar di bangku kereta. Berbeda kalau dia melakukan perjalanan dengan menyamar sebagai orang biasa, dia dapat menikmati pemandangan alam dan pergaulan dengan rakyat tanpa ada yang menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat palsu. Begitu dia mengenakan pakaian pangeran, maka pangeran muda ini segera merasakan betepa kehidupan menjadi berbeda sama sekali. Segala di sekelilingnya menjadi tidak wajar dan penuh kepalsuan, membuatnya merasa muak. Berbeda kalau dia berpakaian biasa dan tiada seorang pun tahu bahwa dia pangeran mahkota, maka semua orang bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum ya senyum setulusnya, kalau tidak senang ya tidak disembunyi-sembunyikan. Begitu dia menjadi pangeran, semua wajah baginya seolah-olah menjadi semacam kedok atau boneka. Setelah kereta itu meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak orang dan melalui lembah yang sunyi, barulah pangeran itu membuka jendela dan tirai kereta dan menikmati keindahan alam di sekelilingnya. Bahkan dia menyuruh kusir memperlambat jalannya kereta agar dia dapat menikmati pemandangan lebih baik lagi.
Akhirnya rombongan itu tiba di dalam hutan dekat pantai, di lembah muara sungai Huai. Sebuah hutan yang sunyi dan tenang. "Aih, sejuk sekali di sini!" kata pangeran itu lalu membuka semua jendela kereta agar dia dapat lebih banyak menikmati hawa yang sejuk dengan bau daun-daun segar dan rumput hijau setelah tadi mereka melalui dataran terbuka yang panas. Matahari telah naik tinggi dan matahari berada di atas kepala, akan tetapi karena daun-daun pohon di hutan itu rimbun sekali, seolah-olah menjadi payung-payung hijau raksasa yang melindungi pangeran dari sengatan terik matahari siang itu.
Tiba-tiba terdengar seekor kuda yang berada di depan kiri meringkik, meronta lalu kuda itu roboh. Semua pengawal sibuk dan terkejut melihat kuda itu roboh karena dadanya tertancap anak panah secara dalam sekali, mungkin menembus jantungnya.
"Kepung kereta!"
"Lindungi Pangeran!" teriak Souw Kee An dan dia cepat mengatur pasukannya untuk mengepung dan menjaga kereta.
Pangeran itu duduk tenang-tenang saja tanpa menutupkan jendela-jendela keretanya, menoleh ke kanan kiri untuk melihat siapa orangnya yang telah memanah mati seekor di antara empat ekor kuda yang menarik keretanya.
Gerakan mereka itu seperti bayang-bayang setan saja, tidak banyak menimbulkan suara, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Mereka itu terdiri dari dua puluhan orang, semua memakai pakaian serba hitam dan kedua mata serta sebagian atas hidung mereka tertutup kedok hitam pula, menyembunyikan bentuk wajah aseli mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun dapat menduga bahwa beberapa orang di antara mereka adalah wanita-wanita. Dan seorang di antara mereka, dengan suara wanita melengking tinggi, membentak, "Tinggalkan kereta dan barang-barang kalau kalian ingin selamat!"
Ini adalah bentakan biasa yang umumnya dipergunakan oleh para perampok-perampok. Orang-orang berkedok ini ternyata adalah perampok-perampok, atau mungkin juga orang-orang yang menyamar pikir Souw Kee An yang cerdik dan sudah berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati sekali.
"Sobat, bukalah matamu baik-baik!" teriaknya nyaring. "Kami adalah Pasukan Pengawal Garuda yang sedang mengiringkan Yang Mulia Pangeran Mahkota! Harap kalian menyingkir dan jangan mengganggu kami yang sedang bertugas!" Teriakan ini diucapkan Souw-ciangkun bukan karena dia takut menghadapi mereka, hanya dia tidak ingin terlibat dalam pertempuran selagi pengawal dan menjaga keselamatan pangeran.