Intro : Boy Meet Evil

154 14 2
                                    

Pemuda bertemu Iblis

Beberapa buku nampak terlihat seperti gunung sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa buku nampak terlihat seperti gunung sekarang. Bahkan bisa dibuat tempat persembunyian, atau sebuah kasur;melihat tingginya sekitar tiga sampai empat langkah kaki, tak hanya satu tumpukan, ada beberapa tumpukan disana. Kim Namjoon sendiri tak merasa terganggu dengan tumpukan buku-buku tadi, ia sibuk membolak-balikkan halaman tiap buku yang tersebar disekitarnya, mulai dari buku sejarah yang terbuka tepat pada tengah-tengahnya, buku psikologi mengenai psikis manusia dalam peradapan kuno yang terbuka pada halalam seratus satu, beberapa buku mengenai filsafat yang sama terbukanya. Dia benar-benar suka membaca.

Tak ayal, dengan kesukaannya membaca, ia sempat mendapat julukan "Einstein" dalam beberapa hari terakhir ini, julukan ini diberikan Kim Seokjin, pemuda yang selalu melontarkan lawakan tua dengan tawa khasnya. Ia hanya duduk sekarang, didepan Namjoon sambil memegang sebuah buku bercover hitam dihiasi bulan dan bintang, ada beberapa siluet bangunan, juga seorang anak atau seorang yang berusia remaja memakai jubah bewarna merah dengan garis emas tiap tepinya. Ia begitu nampak antusias, dilihat muka serius yang dipajang juga sedikit kernyitan di keningnya.

Sedangkan Kim Taehyung juga Park Jimin, masih di dalam perpustakaan katedral, mereka masih sibuk mencari beberapa buku di rak filsafat, beberapa kali mereka membuka, membolak-balikkan halaman buku, kemudian membalikkan lagi ke asalnya, merasa kurang tertarik.

"Jim," kata Taehyung dengan suara baritonnya membuat si empunya nama menoleh, "aku tak suka membaca, ayo bermain bola atau pergi mencari Jungkook." Suaranya dibuat sedikit berbisik, tak ingin mengganggu yang lain, atau jika ketahuan oleh penjaga perpustakaan, mungkin ia akan berakhir di halaman belakang untuk mencabuti rumput atau mengumpulkan wortel yang masih bersemayam dibawah tanah, ini musim panas, kedua hal tadi benar-benar adalah hal yang dibenci Taehyung.

"Lalu bagaimana dengan Seokjin, dia tukang adu, lalu bagaimana jika ia mengadu pada bapak rohani, kita bisa mati." Jimin mengikuti jejak Taehyung, sedikit berbisik namun masih bisa didengar Taehyung.

Keduanya berbarengan menghela napas panjang, ingin pergi dari sini namun tak bisa. Akhirnya mereka memutuskan membawa sebuah buku ensiklopedi kemudian duduk disamping Seokjin;mengapitnya. Nampak enggan untuk membaca, mereka hanya membolak-balikkan halaman dengan malas. "Hei," Namjoon bersuara, hanya suaranya saja yang terdengar, wajahnya tertimbun buku, "bagaimana bisa? Ini konyol." Katanya sambil menahan tawa. Suaranya keras seperti biasanya, mungkin karena sering berkunjung kesini, penjaga perpustakaan sama sekali tak terganggu dengan suaranya yang cukup keras, mungkin dia orang yang menemaninya selain buku-buku, juga sesuatu yang bisa diajak bicara.

"Bangkit, Namjoon. Aku tak bisa melihatmu." Sejanak Seokjin mengalihkan pandangannya, menatap tumpukan buku-buku, sedangkan Jimin dan Taehyung saling bersitatap. "Kita bisa membicarakannya diluar, ini benar-benar hal gila." Mereka beranjak pergi sejemang dengan suara Namjoon yang mengudara, Jimin juga Taehyung tersenyum bahagia sedangkan Seokjin sendiri namapk enggan meninggalkan tempat duduknya yang mulai hangat jika saja Namjoon tak menarik tangannya dan membisikkan sesuatu yang gila akan ia beritahukan dan tak akan membuatnya menyesal meninggalkan buku fiksinya.

Didalam lorong bangunan khas desain Vatican itu, empat pemuda berjalan beriringan, saling melempar sebuah lawakan juga diiringi tawa dan senyum, mereka memutuskan berhenti di tempat berdoa. Terdengar nada iringan piano juga seorang yang tengah bernyanyi, setelah berdiskusi panjang di depan pintu masuk, salah satu diantaranya masuk dengan kondisi setengah terpaksa juga senyum seolah disangga oleh kawat agar tak goyah. Bunyi khas pintu terbuka membuat manusia yang berada di dalamnya menoleh ke sumber suara, walaupun hanya ada dua orang disana, Min Yoongi si pengiring lagu rohani, dan Bibi Lee si pemimpin tiap nyanyian untuk Tuhan. "Hai,"Jimin menyapa walau terkesan kaku bukan main, seolah-olah ia berada di sebuah keadaan di interogasi oleh alien gila. Bibi Lee sendiri tersenyum menyambut kedatangan Jimin, sedangkan Yoongi menatap lurus kearah Jimin.

"Kurasa anak itik ini ingin bernyanyi bersamaku, mari, masih ada mic yang tersisa, Yoongi akan mengiringi kita berdua. Kudengar suaramu bagus, bukan?" Susah payah Jimin meneguk air ludahnya, sesuai perkiraan Namjoon, bibi Lee akan mengajaknya berduet. Jimin sedang tak ingin, atau mungkin selama ia hidup disini, ia lebih suka mendengarkan lagu pop daripada lagu rohani yang ia dengar.

"Tidak, bi. Bukan-maksudku, mungkin lain kali. Aku hanga ingin meminjam manusia es itu," kata Jimin sambil menunjuk ke arah Yoongi yang masih duduk manis, nampak enggan meninggalkan tempat duduknya juga piano,"ada hal yang harus aku bicarakan dengannya walaupun sudah pasti jawabannya adalah tidak atau ya atau tidak menjawab sama sekali." Yoongi beranjak, menarik paksa Jimin keluar. Kemudian setelah ia meninggalkan ruangan tadi, di depan pintu, nampak Namjoon, Seokjin, dan Taehyung yang sedikit terkejut dengan kedatangannya. Namun, yang tertanam dipikiran Yoongi, pasti ada hal menarik yabg akan disampaikan salah satu diantara orang-orang dihadapannya ini

"Ayo, kita panggil yang lain, Yoongi dan Seokjin memanggil Jungkook, aku dan Jimin akan memanggil Hoseok." Namjoon hendak pergi namun Taehyung mencekal tangannya-Seokjin dan Yoongi sudah berjalan menjauhi mereka- melihatnya seolah tengah meminta pertanggungjawaban atas hal yang telah dilakukan Namjoon. Jimin juga ikut berhenti, menatap keduanya bergantian lalu beralih pada cekalan, sedikit jijik mungkin. "Kurasa kalian masih normal, bukan? Atau hanya aku yang tahu hubungan kalian?"

"Bagaimana denganku?" Demi kepala botak Neptunus, Taehyung ini sepertinya otaknya terbentur sesuatu yang membuat otaknya tak berjalan dengan semestinya. "Apa? Bicara yang jelas, Kim!"

"Kau menyuruh Seokjin dan Yoongi mencari Jungkook, kau dan Jimin mencari Hoseok, lalu aku bagaimana? Kau mulai melupakanku? Sekecil apa aku diingatanmu, Kim Namjoon?" Taehyung agak jengkel rupanya, sedang Jimin hendak tertawa juga Namjoon, "oh, ayolah, Kim. Kau di kepalaku sebesar ini," Namjoon melepas cekalan tangannya dari Taehyung kemudian membentuk sebuah lingkaran besar menggunakan kedua tangannya,"atau mungkin lebih besar lagi."

"Lalu bagaimana denganku?" Jimin ikut menimpali Namjoon dengan pertanyaan yang sama dengan Taehyung. "Kita bahas itu nanti, oke? Ada hal yang lebih penting. Kau, Kim, tunggu saja di asrama."

___

Ketujuh pemuda tadi saling berkumpul, membentuk sebuah lingkaran di lantai samping kasur Seokjin. Tak ada yang memulai pembicaraan, seolah-olah masih memikirkan apa yang harus dibicarakan, namun hal itu membuat Taehyung jengah, "kulitmu jadi karamel, Jung." Kemudian yang lainnya menatap Hoseok, membenarkan perkataan Taehyung, "lihat," Jungkook menunjuk Yoongi kemudian Hoseok bergantian, "ketika mereka duduk berjejer, bukankah seperti susu dan cappuccino?" Lalu mereka tertawa, Hoseok sendiri sedikit cekikikan melihat perbedaan drastis antara kulitnya dengan kulit Yoongi.

"Ini karena kalian tak ada yang mau membantu bibi Oh di ladang," kata Hoseok membela dirinya sendiri,"aku tak tega, jadi aku membantunya." Terangnya.

Kemudian kembali hening, Namjoon berdehem sebentar lalu mulai berbicara, "begini," ia berkata walaupun masing menimang-nimang apa yang harus ia lontarkan kepada keenam sahabatnya,"aku tahu ini akan terdengar konyol, pernah mendengar menengenai ritual membangkitkan jiwa yang mati?" Ia menatap satu persatu orang di kelompoknya, kemudia melanjutkan, "itu benar-benar ada dan aku menemukannya di catatan buku sejarah gereja ini. Maksudku, apa yang dahulu yang dilakukan di tempat ini hingga berakhir mejadi gereja?"

Yang lain berpikir, Namjoon sendiri sebenarnya berpikir tak akan berakhir seperti ini, yang lainnya diam tak menjawab. "Dan yang paling mengejutkan," atensi mendadak hanya terfokus pada sosok Kim Namjoon seorang. "Para pemuda yang oernah berada di sini, bertemu dengan," belum rampung kalimatnya, seorang pria tua, memegang Alkitab di tangan kanannya, memakai kemeja putih, celana kain hitam, juga jubah bewarna hitam dihiasi warna emas di setiap sisinya, mirip cover buku yang dibaca Seokjin tadi, hanya saja warna jubahnya saja yang berbeda, membuatnya nampak begitu suci.

"Iblis."

JAMAIS VUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang