Kebohongan
“Please guide me
Please stop me
Please let me breathe”Selepasnya sarapan, Taehyung mengajak Jimin untuk ke taman belakang gereja, berlatih bernyanyi bersama, namun sebelum mereka beranjak pergi, ada Jungkook dan Namjoon disana, tentunya dengan buku yang begitu melekat erat di tangan Namjoon, dan juga ejekan dari Jungkook yang menghiasi pagi mereka. "Berhenti membaca, Tuan Einstein. Fokuslah pada makananmu." Namjoon menatap Jungkook, tapi tak bersuara. Kemudian kembali fokus pada bacaannya. "Terima kasih atas perhatiannya, Tuan Multitalenta, aku akan mendengarkan nasihat mu dengan sangat teramat baik." Balasnya.
Mereka berada di lorong, membuat janji untuk segera bertemu, "Aku akan menunggumu di taman belakang." Setelahnya Taehyung pergi, meninggalkan Jimin yang akan pergi ke kamar mereka. Ada urusan, katanya. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat. Melewati beberapa orang-orang tanpa menyapa sedikitpun, atau lebih tepatnya mengacuhkannya. Ia buru-buru sekarang.
Ia berdiri, di depan pintu kamar yang tertulis nomor tiga, pintu kayu dengan beberapa tempelan selebaran, sebuah foto mereka, juga sebuah daftar penghuni di dalamnya. Yang ia lihat kali ini daftar nama penghuni, ditulis urut menurut usia, Kim Seokjin, Min Yoongi, Kim Namjoon, Jung Hoseok, Park Jimin, Kim Taehyung, dan Jeon Jungkook dengan tinta yang mulai pudar. Kemudian ia memutar knop pintu, menbukanya lalu menutup pintunya kembali, menatap kedalamnya, Hoseok ada disana, duduk di ranjang Jungkook dalam diam.
Ruangan sepuluh kali lima meter tadi, ditaruh tujuh lemari pada sisi kanannya dengan nama setiap kepemilikan lemari, empat ranjang tingkat yang setiap selanya diisi sebuah meja kecil berisi tiga buah. Dibalut dengan warna biru laut, semuanya nampak begitu kontras, sebuah frame foto berukuran 4R yang diambil tahun lalu saat berlibur ke pantai, lalu frame foto satunya lagi yang diambil kala mereka pergi untuk mendaki gunung, yang lainnya sebuah foto polaroid yang di gantung pada tali yang dijepitkan, berisikan foto kenangan kala mereka merayakan ulang tahun tiap perorangan dari mereka, mulai diambil kala Jimin mendapat hadiah dari bapak rohani karena kesukaannya dengan hal yang berhubungan dengan kata kenangan.
"Jung, apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan Hoseok, orang yang tidurnya di ranjang atas, berseberangan dengannya. Ia hanya menoleh, dapat dilihat bahwa tangan kanannya memegang sebuah obat bewarna putih, kemudian ia meminum obat itu, namun sebelum obat itu masuk, benar-benar masuk ke mulutnya, Jimin dengan segera merebutnya, lalu membuangnya asal. "Hentikan, Jung. Kau bisa mati bila terus-menerus meminumnya," Hoseok menatap Jimin yang sekarang tepat didepannya, menatapnya dengan rasa jengkel bukan main. "Jangan lakukan lagi." Lanjutnya. Ia hanya tak ingin melihat Hoseok mati hanya gara-gara overdosis obat. Itu konyol.
Hoseok bangkit, kemudian berjongkok, membetulkan ikat sepatu Jimin yang lepas, "Lain kali jangan berlari, bagaimana jika kau jatuh nanti? Aku tidak bisa membiarkanmu jatuh ataupun menangis sendirian. Masa lalumu yang membuatmu ingin lari, aku akan memastikan bahwa kau tak akan lari lagi." Kemudian ia berlalu, meninggalkan Jimin sendirian yang hanya berdiri kaku seperti disemen atau patung Yesus yang dipasang menggantung di ruang doa bersama. Namun irisnya mengikuti setiap gerak dari Hoseok yang mulai keluar dari ruangan.
Hingga ia benar-benar pergi dan terdengar suara debuman pintu tertutup, baru Jimin terduduk, merasakan tulang di kakinya hilang seketika, hanya beberapa detik saja. Ia baru saja mendengar sebuah kalimat yang ingin membuatnya tambah lari dari hidupnya, dan juga, bagaimana bisa orang membuat janji dengan sebegitu mudahnya?
Jimin mendadak mengingat masa lalunya, bagaimana dirinya berakhir disini. Saat itu, yang ia tahu, salju mulai turun. Begitu dingin, namun tak membuat niatnya goyah sedikitpun untuk menggores nadinya dengan silet berkarat. Yang ada dipikirannya, hanya satu, mati, mungkin bisa membuatnya lari dari kenyataan. Hanya itu, namun disaat yang bersamaan, pemuda itu datang, dengan mata berbinar-binar, senyum yang mengembang, dan ia berkata, "apa? Mati saja sekarang, buat apa menunggu? Ayo, cepat!" katanya kemudian berjalan mendekat,"nanti kalau sudah mati, bilang pada Tuhan, kalaupun kau bertemu, bisa hidupkan aku lagi? Aku benar-benar ingin mengubah hidupku, tolong kembalikan tawaku."
Jimin diam, malas menjawab mungkin, "Hoseok namaku, dan bilang pada Tuhan, tolong kirimkan tiket surga untukku, ya?" Lalu ia pergi, namun sebelum ia pergi, Jimin sudah terlebih dulu memegang kakinya, begitu erat, "aku," ada jeda tiga detik disana," bantu aku, aku terjebak dalam kebohongan." Namun ia berkata dengan begitu datar, benar-benar tak ada hal menarik didalam perkataannya.
"Ya, ya. Akan kubantu, ayo pulang!" Ia mengulurkan tangannya, tersenyum, dengan mata berbinar-binarnya. Lalu berkata lagi, "aku tahu, hidup memang berat, bung. Aku juga merasakan hal yang sama, namun disisi lain, ada hal yang membuat ku bertahan, bagaimana orang-orang disekeliling ku mulai menyukai ku, bagaimana orang-orang mulai peduli padaku, dan saat itulah, aku mulai menemukan hal yang bisa mengisi kekosongan ku, itu akan terjadi padamu juga, cepat atau lambat." Lalu ia menarik Jimin dari tempat duduknya, merangkulnya sambil mengacak-acak rambutnya, "ah, adikku ini butuh penyemangat, rupanya."
___
Jimin, Park Jimin. Nama yang diberikan kedua orang tuanya saat ia benar-benar mulai bernapas di dunia. Umurnya masih sepuluh tahun kala itu, namun sebuah kejadian yang menimpa keluarganya mengubah drastis hidupnya, kecelakaan maut saat akan perjalanan menuju taman bermain, seingat Jimin kecil, yang ia lihat, tubuhnya dilumuri banyak darah, begitu juga ayah, ibu, dan orang-orang yang berada satu bis dengannya. Ayahnya kaku, ibunya bernapas dengan sangat lambat, hingga sebuah sirine polisi terdengar mendekat, "hai, nak? Kau bisa mendengarkan ku?"
Kejadian sebelas tahun silam, namun masih begitu melekat pada otaknya, tak ada niatan dihapus sedikitpun. Ia menoleh, menatap pantulan dirinya di cermin yang biasanya digunakan secara berebut untuk merapikan diri, kali ini, cermin itu benar-benar sepenuhnya milik dirinya seorang diri. Cukup lama ia menatap pantulan dirinya, "Lihat, mau seberapa banyak kau bermain drama, Jim? Tak lelah?" Ia berkata dengan nada dinginnya, "siapa yang kau lihat di cermin kali ini? Park Jimin atau seorang yang membunuh ibunya sendiri? Yang mana?"
Ia tertawa terbahak-bahak, hingga sudut matanya mengeluarkan air mata, perutnya dibuat sakit. Namun sepersekon, ia berhenti, menangis sejadi-jadinya. Ia lelah, ia terjebak pada kebohongannya sendiri, saat ia berubah peran menjadi si korban dan menyalahkan si ibu yang melakukan kekerasan padanya. Saat itu, ia kalap, namun Hoseok datang, melihat langsung kejadian perbuatannya, "tak apa, kau akan baik-baik saja, ini bukan sepenuhnya salahmu."
Jimin berdiri, melangkahkan tungkainya menuju tempat teratas. Tempat yang selalu membuatnya terbang, walau tak benar-benar terbang. Dan disinilah dia, diatas atap dengan sebuah pisau berkarat di tangan kanannya, lalu ia dengan segera membuat salip pergelangan tangan kirinya, darah mengucur deras, lalu ia menusukkan pisau berkarat tadi di dada kirinya, hingga benar-benar gagang pisau saja yang terlihat, "Tolong kembalikan tawaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMAIS VU
FanfictionIni hanyalah sebuah kisah antar remaja, saling terkait, saling terikat, dan saling terbelenggu. Tak ada yang menarik namun ada yang membedakan, bagaimana jika salah seorang diantaranya ialah seorang yang tak bernyawa?