Prolog

54 8 6
                                    

"Sekian lamanya aku merawat perasaan ini sendirian, namun saat ia belum benar-benar tumbuh sempurna, dalam sekejap kamu memusnahkannya."–Aydiara Raenissa.

Diar

"Woi, Diar! Ngelamunin apaan lo?!" Suaranya cukup membuatku terlonjak kaget dan kembali dari alam bawah sadarku ke dunia nyata.

"Ih, apaan sih lo, gangguin orang aja!" Sahutku refleks.

"Hayoo, lo ngelamunin apa? Ngelamunin gue ya? Ciee, secara dong lo mikirin gue, gue kan ganteng, cewek mana sih yang bisa menolak pesona gue."

Hmm, over-pede nya dalam mode on. Tapi, by the way gue emang mikirin elo. Mikirin gimana kalo misalnya gue sama lo bisa ngebangun relationship sama elo. Haha, ngarep banget ya gue. Gumamku dalam hati.

"Terserah lo ah, gue mau balik ke kelas ya, bye!" Kataku tanpa basa-basi. Aku tak ingin berlama-lama berada di dekatnya. Entah mengapa, rasanya hatiku bergemuruh ketika sedang bersamanya. Dia, Devan Arditya, cowok pertama yang berhasil membuatku jatuh hati. Dan aku tidak ingin jatuh terlalu dalam, karena dia..

Sahabatku.

"Dih, Diar! Main pergi-pergi aja, gue baru aja dateng! Woi! Woi, Diar, tungguin gue!" Teriaknya. Aku tidak memedulikannya, aku terus melangkahkan kaki ku menuju ke kelas. Aku sudah hafal sifatnya, dia selalu bersikap manis seperti itu padaku. Dan itu membuatku harus berusaha semakin keras agar tidak terlihat baper di depannya. Aku tidak ingin tembok pertahanan yang ku bangun selama tiga tahun terakhir runtuh begitu saja karena aku kelepasan menyatakan perasaanku padanya.

Ku rasakan seseorang menahan lenganku. Aku sudah menyiapkan umpatan, hendak menyembur orang itu dengan sederet kalimat yang biasa ku lontarkan pada orang-orang ketika mereka menyentuhku sembarangan. Namun, saat ku tengokan kepalaku, umpatanku tertahan ditenggorokan. Dia lagi.

"Apaan lagi, sih, Devan?" Aku mencoba untuk bersikap biasa saja.

"Ekhm, gue mau ngomong."

"Ngomong apaan, sih? Cepetan, gue buru-buru, nih. Sambil jalan aja deh."

"Diar, ini penting. Please, bentar aja." Aku menghentikan langkahku seketika. Tiba-tiba saja aku teringat sinetron-sinetron yang biasa di tonton adik kembarku. Biasanya kalo cowok bilang penting,..

Oh, tuhan, ini yang gue tunggu sejak tiga tahun yang lalu. Dia mau nyatain perasaanya? Gila! Gue belom siap denger pernyataan cintanya. Tapi, gapapa deh, seenggaknya penantian gue selama ini ternyata berbalas. Horeee! Dihatiku, seorang gadis yang mirip denganku meloncat kegirangan. Aku merasa ada banyak kupu-kupu beterbangan diperutku. Aku merasa senang sekali. Tanpa ku sadari, kedua ujung bibirku tertarik keatas, membentuk sebuah senyuman.

"Ngomong apa, Van? Penting banget gitu buat gue tau?" Tanyaku tanpa bisa menahan senyum diwajahku.

"Karena lo sahabat gue. Penting bangetlah!" Jawab Devan tegas dengan senyum menggodanya. Aku masih berusaha untuk positive thinking. Menerka, mungkin saja itu adalah panggilan sahabat darinya yang terakhir yang akan ku dengar. Lalu setelah itu dan seterusnya, dia akan memanggilku dengan panggilan Pacarku. Oh, ya, tuhan, bahkan aku tak sanggup membayangkannya.

"Apaan tuh?" Kembali aku bertanya, kali ini lebih antusias. Ya, tuhan, gimana ini? Hambamu ini kayak nya udah ngga kuat deh liat senyum makhluk ciptaan mu yang satu ini. Terlalu manis. Dia menggenggam kedua tanganku.

"GUE JADIAN SAMA DEA!" Jawabnya senang.

This PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang