Bagian 4

17 4 1
                                    

Bagian 4

"Andai saja aku tahu bahwa mencintainmu bisa membuatku merasakan sakit separah ini, mungkin dahulu aku tidak akan melakukannya." –Aydiara Raenissa.

Diar

Aku terjaga dari tidurku karena bunyi alarm dari ponselku. Aku meraba sekitar kasurku, yap, akhirnya kudapatkan. Ku usap asal layar benda pipih itu supaya berhenti mengganggu tidurku.

Tak lama ponselku kembali berbunyi, ayolah, ini menyebalkan. Tapi tunggu, ringtone ini? Ini bukan alarm, ini ringtone telfon. Dan apa? Lagu dari James Arthur – Say you won't let go itu kupasang khusus untuk kontak Devan. Apa yang akan cowok itu lakukan dengan menelfonku pagi-pagi sekali? Lagipula apa dia tidak merasa bersalah karena membuatku menangis sepanjang malam. Akhirnya, dengan terpaksa ku angkat panggilan darinya.

"Hal-.."

"HEH, LO KENAPA NGGAK SEKOLAH?!" Aku refleks menjauhkan ponselku dari teinga, aku tidak mau tuli mendadak karena mendengar teriakannya. Tapi aku menyukai suaranya itu. Eh, apa? Aku suka? Oh, lupakan Aydiara! Akan ku coba menghapus rasaku ini padanya. Itu motto hidupku yang baru semenjak aku jadi orang yang cintanya bertepuk sebelah kaki, eh, sebelah tangan. Haduh, kok, aku jadi alay gini, ya?

"Apaan sih, Van? Masih pagi, jangan gangguin gue, ah. Pala gue puyeng, gue mau tidur lagi, bye." Baru saja aku hendak memutuskan sambungan telfon, tapi suara dari seberang sana terdengar lagi, ucapannya berhasil membuat hatiku menghangat. Perhatiannya.

"HEE WOY, MELEK COY! BUKA TUH JENDELA, UDAH TERANG INI! GILA AJA LO JAM SEPULUH BARU BANGUN? LO KENAPA GAK SEKOLAH? LO SAKIT? KOK SUARA LO SEREK, SIH?!" Tapi, kenapa dia masih memberikan perhatiannya kepadaku, sedangkan dia sudah punya Dea. Lihat saja kalau ternyata dia hanya main-main dengan adikku itu, aku tidak akan segan-segan menghajarnya walaupun dia sahabatku. Hei, tunggu dulu, apa tadi dia bilang? Jam sepuluh? Astaga, aku terlambat ke sekolah. Ah, masa bodoh soal sekolah, lagipula ini pertama kalinya aku bolos sekolah.

"Oh, jam sepuluh ya,Van? Heheh, maaf, ya, gue nggak liat jam tadi. Dari tadi malem pala gue puyeng banget. Kalo ada guru yang nanyain gue, bilang aja gue sakit. Suratnya nyusul ya! Udahan, ya,Van! Byeee."

"Hee, tapp-" Doi belum selesai ngomong, eh, kok, doi sih, dia maksudnya. Biarkan saja, siapa yang suruh sok-sokan nelfon, kayak banyak pulsa aja! Biasanya aja SMS pake bonus, kalo ngga ngechat di facebook pake mode gratis. Hih.

Devan

Dasar, Diar! Tutup-tutup sambungan sesuka hati. Ya, sudahlah, mungkin saja dia memang sakit dan sedang tidak ingin diganggu. Sayang sekali bonus telfonku ke sesama operator 60 menit itu, padahal masa berlakunya hanya tinggal 2 jam lagi. Sedangkan bonus itu baru terpakai 10 menit. 5 menit ku gunakan untuk menghubungi Mama, lalu Diar? Oh itu bahkan tidak sampai 5 menit.

Akhirnya aku memutuskan untuk menuju ke kelas Dea. Amadea Ranetta. Pacarku. Setelah sekian lamanya, akhirnya aku berhasil mengungkapkan perasaan terpendamku padanya. Akhirnya ia jadi milikku.

Dan disinilah aku sekarang. Berdiri didepan kelas XII-IPA 1, menunggu sang pujaan hati. Saat kulihat Bu Resa sudah keluar dari kelas itu, ak segera masuk. Ku lihat gadisku sedang membereskan buku-buku nya. Tampaknya ia tidak sadar dengan kehadiranku. Padahal, hampir seluruh cewek di kelas ini membicarakanku sejak aku melangkahkan kaki ku masuk. Lagipula, siapa yang mampu menolak pesona seorang Devan Arditya? Sudah tampan, tajir, romantis pula.

"Ekhm.." Aku mencoba untuk menarik perhatiannya. Dan sepertinya aku berhasil. Dia menolehkan kepalanya padaku.

"Eh, kamu, Dev. Kamu ngapain kesini?" Tanyanya.

"Ya, jemput kamu lah. Yuk ke kantin!" Jawabku. Tanpa menunggu persetujuannya, aku langsung menarik tangannya dan menuntunnya menuju kantin.

"Kamu mau makan apa?" Tanyaku. Saat ini aku sedang berusaha menjadi pacar yang baik, hehe.

"Nggak laper." Jawabnya singkat. Apa aku kurang romantis ya? Hmm, baiklah. Perhatian.

"Nanti kalo kamu sakit gimana? Udah deh, ya, kamu tunggu disini." Aku segera beralih pergi dari meja menuju ke abang nasi goreng dan memesan satu porsi nasi goreng dan segelas es teh. Setelah pesanan ku selesai, aku segera kembali menuju meja yang di tempati gadisku.

"Kok cuma satu?" Tanyanya saat aku sampai dimejanya. Sudah kuduga dia akan menanyakan hal itu.

"Aku udah makan, kok, tadi." Simple yang penting mewakili maksudku.

"Kalo kamu enggak makan, aku juga enggak makan." Gadis ini ternyata puya gengsi juga ya? Astaga.

"Yaudah aku makan. Tapi-"

"Apa?"

"Suapin." Sambil mengandalkan senyum mautku. Astaga, tidak, tidak, bukan. Kalau senyumanku maut, gadisku ini bisa mati ditempat. Baiklah, senyuman andalanku.

"Malu, ah!" Bisa kulihat pipinya berubah warna, blushing?

"Yaudah kalo gak mau, jarang-jarang loh punya kesempatan bareng most wanted sekolah. Harusnya kamu bersyukur, babe."

"Iya, deh, iya." 

This PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang