1. Male Elf

404 29 3
                                    

SAINT VERAN, April 11th 1855

"Aku harus segera menemukannya", rahang di wajah tampan itu seketika mengeras.

"Menemukan apa Tuan? Philosopher's Stone? Aku tidak yakin itu nyata", kata salah satu orang kepercayaan dengan menatapnya iba.

"Aku akan mencari tahu. Aku akan melakukan apapun untuk kekasihku. Apakah kau pernah mendengar tentang batu itu, Abercio?"

"Aku pernah mendengar bahwa di abad ke-8 ada seorang ahli alkemia yang berusaha mencari Philosopher's Stone, tapi tidak pernah ia temukan, Tuan."

"Aku berharap itu bukan mitos. Hanya Philosopher's Stone yang bisa diekstrak dan menghasilkan Elixir of Life. Ku harap, bangsaku akan membantu, walaupun itu untuk Ratu kita", ucapan Adonis itu melemah di akhir kalimat.

"Tidak, Tuan pasti bisa menemukannya. Aku percaya Ratu seseorang yang kuat, jadi selama ia bisa bertahan, Tuan jangan putus asa", Abercio tersenyum sambil menyentuh bahu tuannya lembut.

"Siapkan Miramis, tolong. Aku akan pergi sekarang", seperti mendapat kekuatannya kembali, sang Adonis bangkit dan menyuruh seseorang untuk mengambilkan kudanya.

Abercio menyembunyikan senyumnya. Ia sudah mengenal tuannya selama ia hidup. Caitriona. Hanya nama itu yang membuat senyum dan semangat tuannya kembali.

Sudut-sudut bibir di wajah Adonis itu perlahan-lahan tertarik keatas saat ia melihat ke arah makhluk yang tertidur di ranjangnya. Menatap dalam-dalam hingga hanya ada kebahagiaan yang memenuhi dada pria itu.

Tangannya menyentuh lembut surai emas makhluk itu. Kemudian mengusap pipinya pelan, lalu mencium dagunya. Membuat wajah Aphrodite itu mengerjapkan kelopak matanya perlahan seperti kepakan sayap kupu-kupu.

"Matthiass.." ucapnya lirih sambil menyentuh pipi pria yang ada dihadapannya. Lalu ia tersenyum. Sangat cantik bahkan jika dewa yang melihatnya mungkin akan ikut tersenyum juga.

"Good morning, my Queen", Matthias tidak bisa berhenti tersenyum melihat senyuman terukir di wajah cantik kekasihnya.

"Bahkan, sinar matahari belum tampak. Kau akan pergi?"

Ada kekecewaan di suara Caitriona saat mengetahui bahwa kekasihnya akan pergi. Matthias yang menyadari itu menggenggam tangan Caitriona dan menciumnya lembut.

"Aku harus, sayang. Kau ingat tentang Elixir of Life yang kuceritakan padamu? Aku akan mencarinya. Untukmu", Matthias terus membelai surai emas Caitriona.

"Aku tidak butuh itu. Tolong, jangan tinggalkan aku. Komohon. Belum tentu Elixir of Life yang kau ceritakan itu ada", Caitriona mengiba pada kalimatnya, dan itu membuat Matthias memalingkan wajahnya.

"Caitriona, dengar aku. Aku akan mencarinya. Panggil Abercio jika kau butuh sesuatu. Aku tidak akan lama. Aku mencintaimu. Selamat tinggal, cintaku", Matthias mencium tangan Caitriona sekali lagi sebelum akhirnya ia meninggalkannya.

Matthias cepat-cepat pergi sebelum ia berubah pikiran. Ia takut jika harus membatalkan niatnya hanya karena tidak tega melihat kekasihnya yang berkali-kali memintanya untuk tinggal.

Setetes air mata mengalir di wajah bak boneka porselen Caitriona. Ia menyentuh dadanya sesak. Matthias sudah banyak berkorban untuknya. Menyelamatkan sesuatu yang seharusnya dibiarkan. Ini seperti melawan takdir.

Abercio menatap ratunya iba. Ia ingin berbuat lebih banyak, tetapi tuannya melarang. Matthias hanya berpesan pada Abercio, bahwa ia harus menjaga kekasihnya saat Matthias pergi.

•••••

Matthias memacu Miramis, kuda gagah dengan surai putih itu menuju gunung. Ia tidak ingat sudah berapa lama ia seperti ini. Tidak banyak yang berubah saat terakhir kali ia ke sana kecuali pohon-pohon yang lebih lebat.

Hanya ada wajah cantik Caitriona yang memenuhi kepalanya saat ini. Wajah cantik yang tampak kecewa saat tahu bahwa ia akan pergi pagi tadi. Matthias menghela nafas kasar dan terus memacu Miramis, berusaha melupakan wajah Caitriona yang hanya membuatnya dilanda rasa bersalah.

"Aku melakukan semua untukmu, cintaku. Maafkan aku", Matthias mengucapkan itu berkali-kali untuk menguatkan dirinya, dan Miramis membawanya melesat semakin masuk ke dalam hutan.

Tali kekang Miramis ditarik saat Matthias merasa ia sudah sampai di tempat yang menjadi tujuannya, tapi ia tidak menemukan apapun. Tentu saja.

Matthias berkali-kali menghela nafas sambil membawa Miramis berputar-putar di hutan itu. Matthias hampir putus asa, sebelum akhirnya ada sesuatu dari atas menjatuhi dirinya berkali-kali. Seperti seseorang memang sengaja melemparinya.

Matthias mendongak, melihat apa yang terjadi. Tidak ada apapun yang bisa ditangkap oleh matanya selain ujung-ujung pohon rimbun yang menjulang tinggi. Sesuatu mengenai dirinya lagi, dari samping. Benar saja, saat Matthias menoleh, ia melihat sosok berlompatan dari pohon satu ke pohon lainnya.

"Haa!" Matthias langsung mengambil tali kekang Miramis dan memacu kuda kesayangannya untuk mengejar sosok itu.

Suara derap Miramis membuat makhluk itu melompat semakin cepat. Matthias tidak menahannya lagi.

"LIVIU!!!" Matthias berteriak berusaha membuat makhluk itu berhenti.

Makhluk yang menyadari bahwa ada yang menyebut namanya, akhirnya berhenti. Ia berbalik dan duduk santai di dahan yang tepat berada di atas Matthias. Ia memandang Matthias dan tersenyum mengejek.

"Oh! Suatu kejutan ee... siapa namamu? Ohiya, peri gunung yang mencintai manusia! Ada apa kemari?" Liviu menatap Matthias tajam.

Matthias yang mendengarnya hanya bisa mengeratkan giginya, menahan emosi. Ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan.

"Liviu, dengar. Aku tidak ingin berdebat saat ini, tapi.. bisakah kau menunjukkan portalnya?" Matthias tetap mencoba bertanya walaupun ia tahu jawabannya.

"Maaf sebelumnya, Monsieur. Tapi manusia tidak bisa melihatnya karena kami, peri gunung memang menjaga portal dari manusia", Liviu berkata dengan nada mengejek.

"Tolong aku, Liviu. Kau masih adikku. Aku juga peri gunung. Tolong. Kekasihku sekarat dan aku harus menemukan Elixir of Life, hanya kalian yang bisa membantuku", Matthias bertahan dan memohon dalam nada bicaranya.

"Matthias. Aku bukan lagi adikmu. Peri gunung katamu? Bukan. Tidak ada peri gunung yang sebodoh itu hingga nekat melawan takdir dengan mencintai manusia. Kau tahu? Kau tidak akan bisa menyebrangi portal lagi", Liviu menatapnya dengan sorot penuh dendam disana.

Matthias menghela nafas berat. Ia tahu ini tidak semudah yang dia kira. Ia tidak bisa menyerah sekarang. Kekasihnya sekarat.

Matthias menatap Liviu lagi, mengiba. Liviu masih menatapnya dari atas sana. Dengan satu gerakan cepat, Liviu merengtangkan sayapnya yang tersembunyi dan melompat tepat di hadapan Matthias. Matthias menatap mata Liviu yang menggelap. Ia merentangkan sayapnya lebih tinggi seperti ingin langsung melesat pergi, tapi sebelum itu ia berkata.

"Seharusnya kau memikirkan ini sebelum dengan bodohnya mematahkan sayapmu hanya untuk seorang gadis manusia"

•••••

CAITRIONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang