1. One

1K 151 76
                                    


Pria itu mengantar tamu terakhirnya keluar dari dalam rumah. Pasangan paruh baya yang ia antarkan menoleh untuk memberikan tepukan pada pundaknya, tepukan yang  tidak memberi makna lain selain fakta bahwa orang lain berduka atas kepergian ayahnya yang begitu mendadak.

"Hubungi aku jika kau butuh bantuan, Tim. Setelah kau tenang, aku akan kembali untuk mengurus hak warismu." Ujar sahabat sang ayah yang merangkap sebagai kuasa hukum keluarga Van Deusen.

"Ja, oom. Dank je wel." Ia mengawasi tamu terakhirnya melalui teras.

Hujan deras yang mengguyur kota Gouda menyuarakan suasana hati muramnya yang tidak karuan. Kemarin pagi Thijmen menemukan ayahnya tergeletak di lantai kamar mandi, dengan kulit membiru dan tubuh lemah. Ia pikir pertolongan pertama yang diberikan sudah cukup selama ia menanti kemunculan ambulans yang muncul kurang dari lima belas menit kemudian. Sayangnya Frank van Deusen menghembuskan napas terakhirnya hanya beberapa saat setelah mereka tiba di rumah sakit akibat serangan jantung.

"Sampai minggu depan, Tim!" Bunyi klakson pelan dibunyikan dari pasangan yang melaju menjauhi carport rumah.

Pria itu melambai saat mobil melaju menjauh dari jalan depan, menatap kosong sampai lampu belakangnya hilang pada jalur berkelok, lalu masuk ke dalam rumah untuk meresapi dukanya seorang diri.

Thijmen melirik berkeliling pada ruang tengah rumah yang berantakan. Di satu sudut terdapat susunan buket bunga yang dibawakan kerabat ayahnya, tumpukan snack jamuan tamu tak tersetuh yang tidak tahu harus ia apakan setelah ini, jajaran kartu ucapan duka tertumpuk di satu sudut meja dan pria itu memilih untuk mengabaikan semua memorabilia yang ada dengan meraih kotak rokok pada kantung celana dan menyulut benda ramping yang dapat memberinya sedikit rasa tenang.

Kesan hampa yang muncul dalam rumah berukuran sedang itu membuatnya tidak nyaman, Thijmen berjalan lurus menuju kulkas untuk mencari bir dan keluar kembali ke teras untuk menikmati malam dengan cara menyedihkan yang ia tahu. Pria itu menyandar santai pada kursi panjang di teras, menikmati kepulan asap rokok yang berhembus dari mulutnya, menyisip bir dingin sembari menikmati deras suara hujan yang meramaikan malamnya. Ia mencoba memejamkan matanya yang terasa perih sejenak, dan seketika itu pula kejadian horror yang terjadi kemarin pagi terulang, saat ia menemukan ayahnya terbaring lemah di lantai kamar mandi.

"Tim..." sapa sebuah suara lembut. "Thijmen!"

Kelopak mata pria itu terbuka dan di hadapannya berdiri seorang gadis mungil yang muncul dalam keadaan sedikit basah akibat guyuran hujan angin yang masih turun.

"Kau tidak berniat tidur di teras, kan?"

"Yoojin." Thijmen menyapa teman masa kecilnya heran. "Jam berapa sekarang? Kenapa kau keluar rumah?"

"Jam delapan malam."

"Kenapa kau ke sini? Nanti ayahmu marah." Pria itu melirik ke rumah seberang untuk mencari sosok Meneer Choi yang selama ini kurang suka jika ia dan Yoojin terlalu akrab.

"Mama menyuruhku mengantar ini." Yoojin mengulurkan satu kotak berisi makanan hangat. "Kau pasti belum makan malam, kan?"

Pria itu tersenyum tipis, terhibur atas kehadiran gadis yang selama ini ia perhatikan dalam diam. "Aku punya banyak sekali makanan di dalam, tapi tidak memiliki nafsu makan."

Yoojin melirik ragu pada meja kecil di sisi kursi panjang lalu meletakkan kotak makanan yang ia bawa di sana. "Mungkin kau tidak nafsu makan karena tidak ada yang menemanimu. Bagaimana kalau kutemani?"

"Yoo... pulanglah, nanti ayahmu marah lagi."

"Papa sedang keluar kota, jadi dia tidak akan marah." Yoojin duduk di sisi Thijmen tanpa permisi. "Mama tahu aku ke sini karena dialah yang menyarankan agar aku mengantar makanan untukmu, jadi tenang saja, tidak akan ada yang memelototimu lagi."

VoyageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang