2. Two

522 95 50
                                    




Pria itu melangkah keluar dari auditorium dengan sebuah map di tangan kanan, kawan-kawan seperjuangannya sibuk menghampiri keluarga masing-masing untuk berfoto dan mengabadikan momen kelulusan sedangkan Thijmen hanya tersenyum simpul sembari melepas toga yang bertengger pada kepalanya. Seandainya Frank van Deusen masih ada, mungkin ia akan menjadi orang-orang yang sibuk berfoto, mungkin ia dan ayahnya akan merayakan pencapaian ini dengan acara minum-minum di kota, mungkin ia akan mendapatkan tepukan puas pada bahunya lengkap dengan binar bangga yang disampaikan sang ayah. Nyatanya ia sendirian, ia menghadiri acara ini hanya sebagai formalitas untuk mengambil ijazah bachelor degree yang berhasil ia raih setelah studi selama empat tahun lebih di salah satu kampus teknik terbaik di Belanda.

"Tim!" Tepukan keras pada punggung pria itu membuyarkan melankoli Thijmen, kemurungan pada wajahnya beralih saat sepasang lengan kurus yang ia kenal memeluknya dari belakang, lengkap dengan celoteh riang yang menyusul.

"Yoojin..." Bisik Thijmen haru, pelukan erat di seputar pingganya membuat kemurungan pria itu memudar.

"Kau hebat sekali, Tim! Selama ini aku tidak tahu kalau kau seorang mahasiswa teladan yang lulus dengan predikat cum laude!" Yoojin berjingkat senang. "Kau keren sekali saat dipanggil ke atas panggung!"

"Kau datang." Pria itu berbalik menghadap kekasihnya dengan senyum bahagia yang terlukis tulus. "Aku tidak melihatmu di auditorium."

"Tentu saja aku datang, kekasihku dilantik menjadi sarjana; tapi karena aku terlambat, aku hanya boleh menonton dari bagian luar gedung." Yoojin menyerahkan buket bunga yang ia genggam. "Selamat, Tim! Aku bangga sekali padamu."

Pria itu meraih buket yang Yoojin serahkan lalu membiarkan gadis itu berjinjit untuk menyapukan bibir mereka.

"Apa kita akan merayakan hari kelulusanmu dengan minum-minum?"

Alih-alih menjawab, pria itu memincingkan mata untuk menatap berkeliling.

"Kau mencari siapa?"

"Kau ke sini sendirian?"

"Aku naik kereta dari Gouda seperti biasa." Jawab Yoojin sekenanya.

"Seperti biasa..." Thijmen menggigit bibir. "Orang tuamu tidak marah—seperti biasa—begitu tahu kau pergi ke Delft?"

"Tidak, mereka tahu ini hari penting untukmu dan kita boleh menghabiskan sisa hari bersama asalkan—"

"Aku mengantarmu pulang sebelum pukul sepuluh." Thijmen menuntaskan kalimat Yoojin sambil mengacak rambut gadis itu gemas. "Aku akan mengantarmu sebelum itu."

"Untuk hari ini, aku membujuk agar mereka bisa memberi sedikit kelonggaran, sebab ini hari spesial untukmu dan hasil ujianku semester ini tidak mengecewakan sehingga mereka memberiku reward kebebasan." Gadis itu menyengir lebar. "Kau punya waktu sampai pukul setengah sebelas malam bersamaku."

"Setengah sebelas?" Thijmen melirik pada arloji yang ia kenakan. "Sembilan jam lebih untuk kuhabiskan bersamamu."

"Kenapa? Kau tidak terlihat senang."

"Hanya membayangkan wajah ayahmu saat mengantarmu pulang nanti." Kekeh pria itu sembari merangkul bahu Yoojin sebelum ia memberikan kecupan manis pada pelipis gadisnya. "Dalam kurun hampir satu tahun kita menjalin hubungan, ayahmu masih keberatan dengan fakta bahwa kau mengencani pria yang terpaut 7 tahun denganmu."

"Tapi Mama tidak keberatan." Yoojin mengangkat kedua bahu. "Dia dan Papa terpaut enam tahun dan menurut Mama usia kita tidak akan menjadi masalah setelah kita sama-sama dewasa nanti."

"Kata kuncinya adalah 'nanti'." Thijmen mengarahkan langkah mereka ke salah satu tempat ikonik di kampus agar bisa mengabadikan momen spesial ini dengan gadis yang ia cintai. "Aku yakin ayahmu tidak akan banyak protes kalau aku melamarmu enam tahun dari sekarang, tapi kalau aku menemuinya dengan sebuah cincin berlian hari ini, kujamin dia akan menuduhku yang tidak-tidak dan memilih mengulitiku hidup-hidup ketimbang memberikan restunya."

VoyageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang