1. Kenalan

78 3 1
                                    

Aku tidak ingat saat itu hari apa. Yang jelas, seorang teman sekotaku yang waktu itu cuma teman satu-satunya, mengajakku ke Semarang guna menyelesaikan administrasi kuliah. Sebut saja namanya Nopita. Jangan salah sebut ya? 'Nopita' bukan 'Novita' apalagi 'Nobita' temannya Doraemon.

Saat itu hampir magrib. Kami berdua mondar mandir di depan kampus bak anak kucing di dalam kardus, padahal cita-cita kami bukan jadi ayam kampus.

Beberapa menit diskusi dengan Nopita tentang apa yang harus kami lakukan, ternyata sia-sia saja. Tak  keputusan apapun kecuali muncul ide untuk membeli es teh dan gorengan di kucingan. Lahap kami menyeruput dan memakan gorengan itu.

"Hrrk."

"Hrrk."

Aku dan Nopita sendawa bergantian. Tanda bahwa perut kami benar-benar telah terpenuhi haknya.

Lantas, kami berhenti di bawah pohon rindang depan kampus. Tak tahu harus berbuat apa. Kami meratapi nasib yang sebentar lagi digulung gelap.

Di tengah lalu lalang orang di jalan raya, seseorang tiba-tiba menyapa kami. Aku tidak ingat wajahnya. Aku hanya ingat jenis kelaminnya, laki-laki. Kenapa aku bisa yakin kalau dia laki-laki? Iya, Guys. Dia berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya. Dan aku tak mau membuktikannya lebih spesifik.

Awalnya, kami rada takut diajak ngobrol oleh orang itu. Tapi karena keramahannya, si Nopita menyambut dengan tangan terbuka.

"Cari kos ya, Mbak?" Tanyanya.

"Iya, Pak. Kok tau sih?" Balas Nopita.

Sejenak aku berpikir, laki-laki ini pasti tahu kalau kami mahasiswa baru. Sebabnya mudah saja. Tampang kami masih mblawus alias culun. I'm so sorry Nopita sudah mengataimu mblawus dan culun.

Setelah basa-basi, kami ditawarkan sebuah kos baru di sebuah kampung yang tak jauh dari kampus. Hanya 15 menit jalan kaki. Tapi kala itu, Pak Mailakat (kalau Nopita tak setuju aku menyebutnya Pak Malaikat, bisa diganti) menyuruh kami naik becak sementara dia naik sepeda.

Sekitar 5 menit, kami sudah sampai di sana. Sayangnya, Pak Malaikat tak mau membayarkan ongkos becak kami. Ah. Aku jadi urung menyebutnya sebagai Pak Malaikat. Tapi terlanjur. Ya sudah.

Kesan pertama melihat bangunan berlantai 3 itu adalah bagus, bersih, dan tentu saja masih baru. Kulihat Pak Malaikat menelepon nomor yang tertera di papan 'Terima Kos Putri'.

"Aku bawa orang."

"...."

"Dua."

"...."

"Oke. Ditunggu."

Klik!

Pak Malaikat mengakhiri obrolan pendeknya dengan pemilik kos. Ponsel jadul warna hitam ia simpan kembali di saku celananya.

"Tunggu ya, Mbak. Sebentar lagi yang punya kos ke sini." Ucapnya mengabari.

"Ya, Pak." Kami mengangguk.

Duduk beberapa menit di sana membuat kami jadi linglung. Sesekali saja aku ngobrol dengan si Nopita. Dan obrolan kami tentu saja garing gara-gara ada 'orang itu'. Bayangkan, Guys. Suasana mendadak menjadi tegang kayak nonton film horor.

Untuk mememinimalisasi kecanggungan, Pak Malaikat mencoba mengajak ngobrol kami. Tentang asal tempat tinggal dan jurusan yang kami ambil. Lumayanlah untuk mencairkan es batu. Eh, mencairkan suasana maksudnya.

Selang beberapa menit seorang perempuan berambut pendek berombak dan berbadan agak gendut muncul dari ujung gang Kampung Jambi yang terletak di sebelah kiri kos sekitar 50 meter. Sepertinya dia keturunan China. Kulitnya putih pucat dan matanya sipit.

Kos GagaulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang