Dari pintu yang menghubungkan balkon dan ruang santai lantai 3, kami memperhatikan perempuan berkerudung hitam itu. Dia tampak kepayahan kemudian nyengir melihat kami. Saat itu juga ia menyampaikan salam.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..." jawab kami bertiga serempak.
"Sari, ya?" Tanya Nopita.
Ia mengangguk tanda mengiyakan. Setelah itu, Bu Jamilah memberikan dia kunci dan tentu saja langsung meminta uang kos. Memang ya. Di mana-mana uang nomor satu.
Selang beberapa menit Bu Jamilah pamit. Ia mau ke rumah Bu Ella katanya. Ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Jadilah waktu itu pertemuan pertamaku dengan Sari Roti. Ups. Namanya Widya Sari sebenarnya. Tapi karena udah nyaman bilang Sari Roti ya udah lanjut aja.
Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, kamar Sari Roti berada di sisi kanan kamar kami. Tempatnya yang berada di posisi letter L, membuat kamar itu terasa lebih panas ketimbang kamarku.
Sari Roti berbadan agak besar ketimbang aku dan Nopita. Berat badannya kira-kira 54 kg. Tapi juga setara dengan tinggi badannya. Katanya, matanya juga minus sepertiku. Tapi ia enggan memakai kacamata. Sebenernya aku juga malas pakai kacamata. Sampai saat ini pun aku hanya memakainya untuk hal-hal tertentu. Eh, kok curcol sih. Maafkeun.
Oke. Kembali ke Sari Roti. Sari mengambil jurusan Matematika. Bisa kutebak sejak awal bertemu dengan dia. Wajahnya sudah dipenuhi angka-angka dan rumus-rumus. Gaya bicaranya juga kaku. Beda sekali dengan aku dan Nopita yang anak sastra. Ups. Catatan: nggak boleh protes. Titik.
Rencananya, Sari akan menempati kamar itu dengan teman sekelasnya yang anak Purbalingga (kalau tidak salah alamat). Namanya Anna. Sari sendiri bertemu dengan Anna ketika OSPEK. Mereka berdua janjian akan ngekos bersama ketika masuk kuliah nanti. Dan janji itu ditepati meski belum kulihat sosok Anna seperti yang diceritakan Sari.
Malam begitu cepat menyapa. Suasana kos saat ini tak sesepi kemarin malam. Satu per satu kamar kos sudah berpenghuni. Dan Bu Jamilah, tentu saja tak dapat melewatkan momen langka ini untuk menarik uang kos anak-anak baru.
Tak terkecuali Anna yang datang selepas Magrib. Aku lupa nama lengkapnya. Yang jelas, bahasanya ngapak. Aku, Nopita, dan Sari Roti yang waktu itu baru awal-awalnya kumpul dengan orang ngapak, merasa kesulitan mencerna bahasanya. Seperti ada tanda tuing tuing ketika Anna menyebutkan sesuatu yang tak kami pahami.
Anna berperawakan seperti Sari Roti. Bedanya, kulit Anna lebih bersih. Tapi bukan berarti kulit Sari Roti tidak bersih lho ya. Maksudnya, kulit Anna lebih terang. Kalau kulit Sari Roti kan eksotis. Oke. Silakan ketawa kalau mau.
Rupanya, keesokan harinya sudah masuk kuliah. Suasana kos semakin ramai. Ternyata begini rasanya menjadi anak kos. Semuanya harus serba mandiri meski untuk duit sudah disponsori.
Bangun tidur kuterus mandi sendiri tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kubersihkan tempat tidur sendiri karena tak ada ibu. Sarapan pun yang biasanya tinggal ambil, kini harus ke sana kemari dulu. Malahan, kadang-kadang hanya minum air putih dan tidak sarapan. Mengenaskan.
Beberapa hari setelah menjadi bagian dari kos Bu Ella, kamar kosong di sebelah kiri kamarku berpenghuni juga. Tapi, penghuni kos kali ini embak-embak semester akhir. Tinggal mengerjakan skripsi katanya. Mereka berasal dari Kota Kretek.
Sedikit canggung ketika mengobrol dengan mereka yang tidak seusia. Ada perasaan sungkan meski akhirnya kami menjadi saling akrab dan biasa saja.
Namanya Mbak Lia dan Mbak Dyah. Mbak Lia memiliki adik perempuan kembar. Terlihat sangat imut mendapati mereka ketika main di kos. Meski pada akhirnya, aku dan Nopita merasa sedikit terganggu karena kalau sudah bareng mereka pasti berisik sampai malam.
Ngomong-ngomong soal adik kembarnya Mbak Lia, mereka pernah menjadi buronan Bu Jamilah. Kenapa? Ya karena mereka menginap tanpa izin. Gimana mau izin coba kalau setiap ada yang mau nginep dikos disuruh bayar uang penginapan? Lucu kan? Apalagi mereka kerabat sendiri.
Namun Bu Jamilah tak mau tahu untuk alasan itu. Mandat dari pemilik kos alias Bu Ella harus ia pegang teguh. Seteguh menganut paham Pancasila dan harus menghafalnya. Kalau tidak, risiko ditanggung penumpang.
Kami yang merasa sebagai bagian yang harus melindungi sesama kos, sudah berusaha untuk mengalihkan perhatian Bu Jamilah kala ia berkunjung ke lantai 3. Ketika Bu Jamilah berada di balkon untuk menyiram bunga, sebagian dari kami ada yang mengajaknya ngobrol.
Sebab apa? Sebab pada waktu itu adik kembarnya Mbak Lia sedang mandi berdua di kamar mandi pojok dekat tangga. Waktu itu Mbak Lia sempat was-was mendapati Bu Jamilah datang lebih awal ke kos untuk bersih-bersih. Apalagi posisi adik-adiknya yang masih di kamar mandi.
Kami yang tak menunggu aba-aba dari Mbak Lia langsung tanggap.
Wus!
Wus!
Wus!
Secepat kilat adik-adik Mbak Lia keluar kamar mandi secara gedebukan. Kami sempat menahan tawa atas adegan itu. Tapi firasat orang tua memang tidak bisa dibohongi. Bu Jamilah begitu peka sehingga langsung mengecek sumber suara gedebukan itu.
Di kamarnya, Bu Jamilah memergoki kedua adik Mbak Lia di belakang pintu. Mereka senyum-senyum tanpa dosa. Dan tentu saja setelah itu Bu Jamilah meminta uang inap semalam untuk kedua adik Mbak Lia.
Beberapa minggu kemudian, Anna memutuskan untuk pindah kos. Kami menyayangkannya. Mungkin Anna merasa tidak nyaman dengan ulah kami yang agak urakan. Sebab selama ini aku mengenalnya sebagai perempuan yang taat ibadah dan benar-benar menjaga auratnya.
Akan tetapi, sikap Anna akhir-akhir itu memang rada aneh. Didukung dengan penampilannya yang mulai menggunakan pakaian besar-besar dan kerudung longgar. Tapi itu semua haknya. Kami tidak bisa melarangnya.
Selepas kepergian Anna, Sari Roti tampak begitu sedih. Mungkin dia merasa kehilangan. Bagaimana pun juga, selama ini dengan Anna lah dia tidur. Dan mulai malam itu, dia tidur sendirian. Melewati dinginnya malam dan gelap yang mencekam. Aduh, lebay deh.
Rupanya kesendirian Sari Roti tak bertahan lama. Selang beberapa minggu juga, seorang teman sekelasnya berhasil ia gaet untuk mengisi hari-harinya. Dia bertubuh pendek dan rambutnya lurus panjang. Berasal dari Purwodadi dan sangat suka makan.
Namanya Mardiana. Tapi oleh kami, dia dipanggil Anabela. Ups. Sekali lagi dilarang protes. Ini sudah menjadi kebijakan author (ketawa jahat).
Dari sinilah awal kisah Kos Gagaul itu dimulai. Kos antimainstrim yang memuat semua kisah-kisah gagaul alias gagal gaul bin jadul. Ikuti terus ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kos Gagaul
AdventureCerita ini gue tujukan buat yang ngerasa pernah ngehuni kos Bu Ella di kampung Kledungmalang no. 301 A. Buat yang belum pernah kos di sana, abis baca ini bisa langsung booking semua kamar kosong. Tapi ingat. Kisah ini cuma dialamin oleh kita-kita, t...