2. Bu Jamilah

35 4 1
                                    

Kami meringkuk di atas kasur masing-masing. Takut. Niat hati ingin menutup seluruh tubuh tapi bingung dengan apa. Sebab kain untuk selimut kami gunakan sebagai alas kasur.

Seketika aku turun dari kasur atas. Merapat ke Nopita. Kami saling berpelukan layaknya Dipsi kala bertemu adik bontotnya, Poo.

Srek!

Srek!

Srek!

Terdengar langkah kaki dari luar mendekati kamar kami. Si pemilik langkah kaki itu tampak berhenti sejenak. Kemudian melanjutkannya hingga terdengar sangat dekat di depan pintu.

Aku dan Nopita mengeratkan pelukan. Tak mau kalah dengan Jack dan Rose saat kapal Totanic yang mereka tumpangi terbelah.

Tok!

Tok!

Tok!

Kami merinding bulu roma hingga terperanjat.

"Waw!"

Aku dan Nopita menjerit bebarengan. Benar-benar kaget dengan suara ketukan pintu. Kami segera bangkit. Mengintip dari celah kunci untuk memastikan bahwa memang ada orang di luar kamar kami.

"Mbak, belum tidur?"

Sungguh. Suara itu membuat kami melompat satu langkah ke belakang.

"Tolong buka pintu, Mbak. Saya Jamilah."

Jamilah? Buru-buru Nopita mengeluarkan ponselnya. Niat hati ingin menelepon Bu Ella bahwa di kos ada penyusup, eh malah ada sebuah pesan dari Bu Ella.

[Bu Ella]
Nopita, nanti ada Bu Jamilah yang akan menemani kalian tidur.

Oh, lega. Kami menghempaskan napas yang terasa beberapa detik mencekik leher kami.

Ceklek!

Ceklek!

Kuputar kunci untuk segera membuka pintu. Tak butuh waktu lama. Hanya sekitar 5 detik.

Di hadapan kami telah berdiri sosok wanita lumayan tua yang rambutnya diikat karet gelang. Ia memakai daster batik kombinasi ungu dan hijau.

Melihat kami, wanita itu tersenyum.

"Belum tidur, Mbak?"

"Hehehe. Takut, Buk." Cengir Nopita.

"Takut apa?"

"Takut kalo ada hantu." Jawabku tanpa basa-basi.

"Hahaha. Nggak usah takut, Mbak. Di sini aman. Paling cuma anak-anaknya aja yang sering maen ke sini."

"Ha?!" Kami tidak menyangka Bu Jamilah akan mengatakan itu. Mendengar informasinya sekarang membuat kadar ketakutanku naik 5 level.

Kulihat Nopita yang berdiri di sebelahku juga melongo. Ia tampak shock. Pandangannya lurus ke arah balkon tanpa pembatas yang kosong. Ya. Kamar kami memang langsung menghadap ke balkon yang saat itu belum ada pembatasnya.

"Nop ... Nop ..." aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya. Berharap agar kewarasannya segera kembali.

"Liat apa, Mbak?" Tanya Bu Jamilah kepada Nopita.

Nopita masih diam. Pandangannya masih tetap seperti semula. Sepertinya, ia sedang mendapati sesuatu yang tidak biasa.

"Itu, Buk."

Nopita menunjuk sesuatu ke depan. Jujur. Aku bergidik. Tapi kulihat Bu Jamilah sangat tenang.

"Oh itu?" Bu Jamilah mendatangi arah yang ditunjuk Nopita. Ia berjalan begitu santai seolah tak pernah terjadi apa-apa. Aku dan Nopita masih bisa memandangi punggungnya yang menyimpan lelah di bawah temaram lampu.

Tidak lama kemudian Bu Jamilah kembali membawa sesuatu yang ia genggam di tangan kanannya.

"Cuma plastik putih yang nyangkut kawat cor, Mbak."

Lega. Kami benar-benar lega. Jujur saja aku ingij tertawa keras-keras kalau tidak waktu itu sudah malam. Alhasil, kami bertiga sekuat tenaga menahan tawa. Nopita pikir, itu adalah pocong yang nyangkut di lantai 3.

****

Keesokan harinya kami ngobrol panjang lebar kali tinggi dengan Bu Jamilah.

Bu Jamilah asli Solo. Ia seorang janda dengan 3 orang anak yang semuanya perempuan. Kini semua anaknya sudah menikah dan ikut suami. Jadilah ia seorang diri di rumah.

Sebagai seorang yang pekerja keras, Bu Jamilah tidak mau merepotkan anak-anaknya dengan meminta uang kepada mereka. Bu Jamilah memilih merantau dan bekerja sebagai pembantu.

Selain menjaga dan membersihkan kos, Bu Jamilah juga mengurus rumah Bu Ella yang katanya empat kali lebih besar dari bangunan kos. Busyeeet. Itu tenaga orang apa banteng?

Kuteguk saliva atas kekagumaman ini. Empat kali, Gaes. Bayangkan!

"Bu Jamil nggak capek?" Tanyaku lugu.

"Udah biasa, Mbak. Rumah saya kan di desa. Bangunannya malah lebih besar. Di tambah lagi ada halaman dan pohon mangga dan petai cina yang tinggi-tinggi. Setiap pagi daun-daunnya pasti banyak yang gugur.

"Sama, Buk. Rumah kami juga di desa," sambung Nopita.

Selang beberapa menit, terdengar depak kaki menaiki anak tangga. Kami bertiga mendengarkan dengan saksama derap kaki itu.

Mbuk!

Mbuk!

Mbuk!

Dari ujung tangga perlahan terlihat seseorang naik ke lantai 3. Ia mengenakan jilbab instan hitam. Tampak berdiri sejenak setelah berhasil menghabisi anak tangga hingga puncak lantai.

Napasnya tampak tersengal. Bibirnya pucat. Kami bertiga yang awalnya mengobrol di bangku semen di sisi kanan balkon, sesegera mungkin menemuinya.

Sepertinya, dia adalah Sari Roti.

Bersambung ...

BisikBisikAuthor

Gimana ceritanya? Unsur humornya dapet nggak?

Jangan lupa Vote dan Komen ya. Ajak teman, sodara, pacar, mantan pacar, ibu kandung, ibu tiri, ibu angkat, bapak kandung, bapak tiri, bapak angkat, atau yang lain juga boleh, buat baca ya.

Thanks

Salam,
Adefira Lestari

Kos GagaulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang