Vingt-quatre

14K 1.3K 62
                                    

Jane berjalan sendirian sekarang. Keadaannya terlihat baik-baik saja seperti biasa, wajahnya itu masih sama seperti beberapa jam yang lalu. Tak ada guratan kesedihan sedikit pun wajahnya, namun, pernahkah kau berpikir betapa hancur Jane saat ini?

Ini pertama kalinya Ia patah hati. Ini pertama kalinya Ia hancur. Bukannya dia tak ingin menangis, tentu saja dia ingin. Tetapi disatu sisi, hati kecilnya menyuruhnya untuk tegar walaupun tubuhnya memintanya untuk menangis sekencang-kencangnya.

Langkahnya terhenti di jembatan yang langsung menghadap pada Opera Sydney. Gedung itu masih sama persis dengan dua tahun yang lalu. Ini memang tujuannya. Jalan menuju jembatan dekat Opera Sydney. Yang dia harapkan adalah jalan bersama Harry sekarang, bergandengan tangan, kadang Harry memutar tangannya yang membuat Jane menari berputar, tertawa bersama, saling berkata sesuatu yang manis.

Ku tak rela, ku tak ingin lepaskan semua....

"Hei, Jane." Sedetik kemudian suara tak asing Ia dengar. Dia yakin sekali bahwa itu suara seseorang yang dulu pernah mengisi relung hatinya walau hanya sementara. Ia yakin benar. "Janette Thompson."

Perlahan Jane berbalik menghadap pria yang memanggilnya. Tepat saja! Dugaan Jane tak meleset ternyata, lelaki itu hadir kembali.

"Lama tak bertemu, huh?" Lelaki berperawakan tinggi itu memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya.

"Hai, Ansel. Sedang apa kau disini? Kupikir kau pindah ke daerah Queensland."

"Memang." Lelaki yang ternyata adalah Ansel itu mengangguk beberapa kali. "Tak ada salahnya-kan, kalau aku sesekali mampir untuk mengunjungimu?"

Ansel menyeringai. Sedang apa laki-laki itu disini? Mau apa dia menemui Jane?

"Aku tak butuh kunjungan darimu, Ansel. Sekarang biarkan aku berjalan sendiri ke rumahku dan anggap saja kita tidak berjumpa malam ini." Jane memalingkan wajahnya dan mulai melangkah pendek sebelum tangan lelaki di belakangnya mencegah langkah berikutnya.

"Kita baru saja bertemu, Jane." Ansel menatapnya ramah namun tajam. "Apa kau tak merindukan mantan selingkuhanmu, Janette?" Rasanya tubuh Jane gemetaran lagi saat mengingat masa-masa itu.

...

Denting piano dari rumah Keluarga Arington memang selalu terdengar sangat merdu. Alunan tiap nadanya itu tak segan membuat orang-orang yang mendengarkan menjadi jauh lebih tenang. Bagaimana tidak? Pemainnya saja adalah sepasang insan yang sebenarnya dirundung asrama namun tak mau mengakui satu sama lain.

Kelsey menggerakkan tangannya di atas piano besar berwarna putih milik Almarhum Ibunya. Ia merasa tenang saat memainkan piano ini, seperti ada kekuatan tersendiri yang membuatnya bangkit dari kenyataan bahwa dia sedang sakit.

"Ini sudah lewat pukul sepuluh, Kelsey." Kelsey berhenti memainkan. Kepala gadis itu kemudian disandarkan pada bahu Marcel. "Aku tak ingin tidur. Tidur hanya menimbulkan mimpi buruk yang menyedihkan atau mimpi indah yang terlalu mustahil untuk terjadi. Itu menyebalkan!"

Marcel terkekeh sambil memandangi Kelsey dibahunya. "Bagaimana jika kita pergi bersama-sama ke alam mimpi? Sehingga aku bisa menjagamu dalam mimpi burukmu, dan kita dapat bersenang-senang bersama di mimpi indahmu?"

Sekilas terlukis senyum diwajah Kelsey. Dia tak dapat lebih bersyukur dari sekarang, memiliki Marcel disampingnya adalah kekuatan tersendiri untuk Kelsey.

"Kau mau tidur sekarang?"

"Asalkan kau terus berada disampingku, aku akan melakukan hal tak penting itu." Marcel meng-iya-kan permintaan Kelsey.

Dengan langkah agak malas, Kelsey berjalan menuju kamarnya yang berada tak jauh dari ruang piano berada, diikuti Marcel yang membuntutinya. "Mau kubuatkan susu hangat?" tanya Marcel ketika mereka sudah sampai didepan pintu kamar Kelsey.

The Triplets // harry stylesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang