Seorang gadis kecil berparas cantik tengah terduduk mengamati bagaimana telatennya anak lelaki yang tengah menyusun lego di ruang bermain dalam rumah orang tuanya. Ia begitu terkesima melihat keseriusan anak lelaki tersebut ketika memikirkan lego mana yang cocok dipasang untuk membentuk sesuatu yang ia inginkan.
Mulanya gadis kecil itu diam saja, berusaha tidak mendekat dan menyibukkan diri dengan bermain barbie miliknya yang ayahnya belikan sepulang dari Singapura minggu lalu. Bundanya yang berkata seperti itu padanya. Waktu itu ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan segera berlari meninggalkan ayah dan bundanya yang masih sibuk dengan urusan bongkar-membongkar koper oleh-oleh milik sang ayah.
"Daisy kakak boleh minta tolong?" Anak lelaki itu menolehkan wajahnya menatap gadis kecil yang masih sibuk berpangku tangan menatapnya. Setelah mendengar suaranya, barulah gadis kecil itu menatap dengan raut terkejut. Lamunannya buyar karena diganggu oleh seseorang yang ia lamunkan.
"Kenapa, Kak?!" tanyanya dengan antusias.
"Tolong, ambilkan plastik lego yang ada di sebelah kananmu."
Gadis kecil itu sesegera mungkin menolehkan wajah untuk mencari apa yang lelaki itu pinta. Setelah mata kecilnya menemukan apa yang ia cari, lantas tangan mungilnya meraih plastik lego dan menyerahkannya kepada anak lelaki yang kini tersenyum manis padanya seraya bergumam terima kasih.
Gadis kecil itu terkikik karena merasa begitu senang mendapatkan senyuman manis dari sosok yang berjarak dua meter darinya itu. Pikirannya mulai memikirkan alasan apa yang akan ia gunakan untuk memancing anak lelaki itu agar datang kemari lagi besok, lusa, atau pun seterusnya. Ia tidak akan pernah bosan bermain dengan anak lelaki itu sampai kapan pun. Walaupun tidak sepenuhnya bermain bersama, terlebih gadis kecil itu cenderung hanya mengamati bagaimana sibuknya anak lelaki itu memainkan mainan yang biasa digunakan untuk bocah lelaki seperti dirinya.
Anak lelaki itu berdiri dari duduknya. Sebelah tangan kanannya menggenggam lego yang berbentuk robot, sementara itu tangan kirinya menggenggam kepingan lego. "Mama dan papa pulang jam berapa? Aku lupa kalau harus mengerjakan PR yang diberikan Miss Lala tadi pagi." Ia duduk di sebelah gadis kecil itu yang menatapnya polos sekaligus leluasa.
"Daisy!" Anak lelaki itu memanggil kesal karena merasa tidak mendapat respon. Suaranya bahkan sedikit meningkat.
Gadis kecil yang merasa itu dibentak justru mengerucutkan bibirnya. "Tidak tahu, ayah dan bunda bilang kita harus menunggu mereka sampai jam empat!" Ia mengacungkan lima jari kanannya di hadapan bocah lelaki tersebut.
Tangan kanan anak lelaki itu terulur untuk melipat jempol tangan gadis kecil dihadapannya yang kini menatapnya bingung. "Empat, tuh, seperti ini."
Gadis kecil itu melengos tidak peduli, ia meraih barbie yang berada di atas meja kemudian pura-pura sibuk bermain. Permainannya terhenti tak kala ia melihat anak lelaki tersebut beranjak berdiri dari duduknya dan bersiap pergi dari ruang bermain.
"Kakak, mau kemana?"
Tangan kecilnya menggenggam tangan lelaki itu erat. Ia menatap anak lelaki itu dengan mata yang sudah berkaca-kaca, takut jika anak lelaki dihadapannya ini marah karena kesalahannya dalam berhitung tadi atau justru karena ia yang meminta ditemani disini dengan menyuruh ayah dan bunda meninggalkan mereka berdua bersama Bibi Dhara saja.
Bagaimana jika anak lelaki itu marah padanya? Lalu ia tidak akan pernah datang kesini dan tidak mau bermain bersamanya lagi? Otak kecilnya mulai memikirkan hal-hal kecil yang melenceng jauh dari tempatnya.
Anak perempuan itu menangis terisak, menghiraukan anak lelaki yang kini tengah menatapnya terkejut. Bingung harus berbuat apa, padahal ia hanya ingin beranjak mengambil ice cream di meja ruang tamu yang dibelinya bersama orang tuanya tadi sewaktu mampir ke salah satu supermarket.
"Jangan menangis, aku tidak pergi. Aku cuma ingin mengambil ice cream di ruang tamu!" katanya bersemangat. Ia menepuk-nepuk gadis kecil yang umurnya kurang lebih satu tahun dibawahnya itu. Setelah tangisannya reda, barulah anak lelaki itu meneruskan langkahnya menuju ke ruang tamu untuk mengambil ice creamnya.
Iya, ia berkata hanya ingin mengambil ice cream. Nyatanya ia benar-benar tidak kembali lagi. Tidak lagi.
Anak lelaki itu pergi meninggalkannya yang menangis sendirian di ruang bermain. Yang beberapa menit kemudian datang Bibi Dhara dan bundanya yang menenangkannya. Berusaha membujuknya untuk tidak menangis lagi. Berusaha membujuknya untuk tidur di kamarnya. Juga membujuknya untuk tidak mengingat-ingat lagi kenapa anak lelaki itu pergi.
Gadis kecil itu benar-benar merasakan sakit karena kehilangan teman bermainnya. Kehilangan sesosok yang selama ini ia amati dan tiba-tiba menghilang dari hadapannya, dengan keadaan yang baik-baik saja, dengan emosi yang baik pula, juga dengan raut wajah yang serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asharga dan Rahasia
Teen FictionSemua tidak akan serumit ini jika saja Asharga bisa melupakan masa lalu. Semua tidak akan semenyakitkan ini jika saja Asharga tidak jatuh cinta kepada adiknya sendiri. Dan semuanya tidak akan menjadi semenyedihkan ini jika saja ia tahu bahwa, bukan...