(Firstie)

44 4 0
                                    

Saturday/ April 25, 2015

Aku tersipu malu melihat pantulan wajahku dicermin. Cantik, ya sangat cantik. Semua orang bilang begitu. Tak bosan-bosan mereka memuji tak bosan jua aku berbangga hati, Bersyukur. Bukan, bukan bersyukur. Lebih tepatnya aku bangga dan semakin berbangga hati pula memamerkan segala kelebihanku yang bahkan tak seharusnya tampak, pada dasarnya manusia memang mempunyai sifat tak pernah puas.

Hidung yang bangir, pipi tirus merona, bibir mungil merah merekah, mata yang tajam dengan bulu nan lentik, alis yang bertautan, lengkap dengan lesung pipi membuatku semakin terlihat sempurna. Badanku proporsional, tidak gemuk tapi tidak juga kurus, langsing. Sepadan dengan gaun-gaun mini yang sering aku kenakan. Aku lebih suka pakaian yang kasual namun tetap mempesona. Terkadang kemeja panjang atau hoodie kupadukan dengan hot pants agar membuatku semakin berkarakter, lincah.

Aku membuka lemari. Menatap mereka membuatku terpesona, takjub. Beragam pakaian mahal dengan berbagai macam style tersusun sempurna. Dari kesemuanya itu, satu ciri khas dari pakaian yang kumiliki adalah, terbuka. Ada yg menampakkan bahu atau paha mulusku bahkan ada crop top yang jika kupakai akan memperlihat perut rataku yang indah.

Pujian, ya aku memang sangat suka dipuji. Aku senang ketika semua orang menatap betis kecilku dengan takjub, memandang leher jenjangku dengan iri, entah mengapa aku senang membayangkan bagaimana mereka berangan-angan memiliki semua yang kumiliki.

Semakin aku pikirkan, semakin sulit kutemukan kekuranganku. Aku pikir aku punya segalanya, uang, teman-teman baik, keluarga yang selalu memberikan apapun yang aku inginkan, bahkan penggemar. Aku juga bisa melakukan semua hal yang ingin aku lakukan serta membeli apa yang ingin aku beli. Aku cukup cerdas, dan kusadari itu. Apakah aku sudah menggenggam dunia?

"Kreeek… ” pintu terbuka.

"Shahraz, jangan lupa sarapan, Bunda berangkat kekantor.” pamit bunda membuyarkan lamunanku.

“Iya bunda.”

Dia wanita, memang. Tapi tidak banyak waktu yang dihabiskannya dirumah. Dia wanita karir yang sukses, entah bagaimana aku tak tahu ayah begitu mencintai ibu. Mereka selalu romantis. Bekerja bersama, berpesta bersama, tidak terpisahkan, membuatku iri. Membuatku ingin nantinya memiliki kehidupan rumah tangga seperti mereka.

"Zarri, bangun! Antar Shahraz kekampus!”

"Sopir?” Jawabnya malas - malasan.

“Pak Ramdan sedang cuti, anaknya sakit!”
Ayah selalu begitu, berteriak kalau meminta kakak laki-laki semata wayangku itu untuk mengantarkanku. Ayah kerap kesal padanya, karena dia tak pernah keluar dari tempat persembunyiannya, kamarnya dilantai atas. Kecuali jika ayah menyuruhnya melakukan sesuatu.  Dia pengangguran, pemalas, tapi bukan pembangkang. Dia cukup patuh pada Ayah dan Ibu. Dan aku selalu membutuhkannya, aku selalu bergantung padanya karena aku tak bisa mengendarai mobil sendiri. Aku menyesali itu.

🍒🍒🍒

Jalanan sepi kota Bandung di pagi hari, asri dan sejuk. Kota kelahiranku memang yang terbaik. Tidak ada polusi juga kemacetan, penduduknya ramah dan selalu menaati peraturan walaupun segelintir orang masih ada yang keluar dari jalurnya.

Aku tengah mengejar gelar S1 di perguruan tinggi. Disalah satu kampus besar terbaik dikota ini.  Sulit bagiku untuk menjadi bagian dari kampus besar itu. Karenanya tak pernah aku berniat menyia-nyiakan semua yang sudah aku usahakan sendiri, tanpa bantuan dari uang maupun pangkat ayahku. Tidak seperti Zarri yang notabene semua yang dimilikinya merupakan pemberian ayah dari ujung kaki sampai ujung kepala. Sarjana yang masih saja pengangguran, huh dasar!

Aku heran hari ini tak seperti biasanya, kelasku terlihat ramai. Sangat ramai.

“Hei, shahraz ayo sini! Mereka sudah menunggumu!” Rhea memanggil dengan antusias.

“Aku?” aku mengerutkan kening bingung.

“Iya, itu mereka dari Paradise Style, perusahaan fashion ternama. Mereka sedang mencari model untuk produk pakaian terbaru mereka.”

“Lalu?” tanyaku lagi masih kebingungan.

“Apalagi? Ya tentu saja mereka menginginkan kamu sebagai model mereka. Hmm, aku rasa mereka sudah melihatmu dalam ajang pencarian bakat kampus.”

“Aaa, begitu.. ” gumamku lirih. Yah aku memang sudah berulangkali mengikuti ajang pencarian bakat, dari kegiatan kampus yang setiap tahun mengadakan pemilihan raja dan ratu kampus, duta bahasa, putra dan putri bandung sampai pemilihan gadis sampul dan itu tidaklah buruk karena aku selalu mendapat juara. Tidak terlalu sulit karena aku memang cantik dan bertalenta, aku memiliki banyak keahlian dalam berbagai bidang sebagai seorang wanita, itu fakta.

Seseorang datang mendekat, wanita. Dia cantik, tidak. Lebih tepatnya berkharisma dan elegan. Memakai gaun panjang biru muda yang dipadu dengan sepatu tinggi warna laut, sangat anggun dengan kain penutup kepalanya. Aku terpesona, hingga tak kusadari jantungku berdebar.

“Nona Qaisra?”

“Ya?” jawabku kaku ketika ia memanggilku dengan nama depanku.

To be continued....

KerudungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang