Kring... Kring.... Kring.... Kring....
Jam beker berwarna biru tua itu terus berbunyi, pertanda bahwa sang pemilik harus segera kembali ke dunia nyata. Gadis yang memiliki rambut sepunggung itu menggeliat ke sana kemari bagai cacing kepanasan hingga akhirnya ia mengalah dan berusaha sekuat tenaga untuk bangun dari tidur nyenyaknya dan mulai menjalankan aktivitasnya di dunia nyata. Ririn nama gadis itu.
Setelah mematikan benda yang sedari tadi mengganggu tidurnya, Ririn langsung bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhnya sebelum memulai aktivitasnya.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk bersiap-siap. Selang 20 menit kemudian ia telah siap dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam rok abu-abunya. Setelah dirasanya sudah cukup rapi, ia pun mulai melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan.
Di ruang makan ia mendapati seorang pria yang sudah berkepala empat namun masih memiliki wajah tampan dan tampak berwibawa. Juga seorang wanita yang memiliki wajah yang cantik dan terlihat semakin cantik dengan mata coklat terangnya. Ririn menghampiri keduanya dengan senyum terlebar yang dia miliki.
"Selamat pagi." sapa Ririn dengan ceria.
"Selamat pagi juga sayang." balas Henry, ayahnya.
Lalu Ririn mengambil posisi duduk di samping wanita bermata coklat tadi. "Ma, aku mau roti pandan dengan selai coklat." pintanya dengan manja pada wanita bermata coklat, .
"Hmm" gumam Shila, mamanya. Langsung saja gadis tersebut melemparkan senyum senangnya pada Shila, lalu mengambil segelas susu yang memang disediakan untuknya. Ririn meletakkan kembali gelasnya setelah meminumnya hingga tinggal setengah. Lalu mengambil roti pandan berselai coklat yang telah dibuatkan Shila.
"Bagaimana sekolah kamu, Rin?" tanya Henry.
"Tenang aja pa," ucapnya masih dengan mulut setengah penuh. "Semuanya lancar tanpa ada hambatan apa pun." jawab Ririn dengan senyum bangganya setelah menelan makanannya.
Saat ketiga anggota keluarga Bramasta hampir selesai dengan makan pagi mereka. Anggota keempat keluarga itu baru datang dengan dasi abu-abu yang tergulung ditangannya.
"Pagi sayang," sapa Shila dengan senyum lembutnya. "Ini roti kamu." Shila memberikan roti tawar dengan keju dan meses.
Gadis yang baru datang ke ruang makan itu mengambil posisi duduk di sisi lain Shila. "Makasih ma." balas gadis itu, Kiran namanya.
Setelah Henry meminum kopi hitamnya hingga tandas. Ia mengambil tas kantornya yang tergeletak di atas meja makan dan bersiap untuk meninggalkan rumah. Ririn yang melihat papanya akan pergi pun menginterupsi.
"Pa, aku boleh ikut mobil papa gak?" tanya Ririn. Henry meliriknya lalu mengangguk dengan senyum kecilnya. Setelah itu Henry keluar makan lebih dulu menuju ke teras rumah.
"Lo turun di pertigaan dekat sekolah." Kiran menatapnya dengan tajam. Lalu Kiran menghabiskan susunya dan menyambar 2 potong roti lagi sebelum pergi meninggalkan ruang makan. Shila tidak mengatakan apa-apa. Ia sibuk merapikan meja makan. Tidak peduli dengan Ririn yang masih berada di ruang makan.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
Ririn melangkah menuju gerbang sekolahnya dengan semangat. Tidak peduli bahwa ia baru saja diturunkan di pertigaan jalan. Dengan ramah ia menyapa kembali murid-murid yang menyapanya. Tidak akan ada yang tahu bahwa ia sedih karena hanya ayahnya saja yang mau peduli dengannya. Prinsip hidupnya cuma satu. Sesedih apa pun dirinya tidak ada satu orang pun yang boleh tahu.
Ririn melangkahkan kakinya dengan ringan menuju kelasnya, wajahnya tidak menampakkan ekspresi sedih, lelah, marah atau perasaan lainnya yang dia rasakan beberapa menit yang lalu. Ririn masih di ambang pintu ketika teriakan dari sahabatnya menyambutnya.
"Ririiiiiinnnnnnnn......" melengking dan berlebihan, itulah tipe suara milik sahabatnya. Chelsea Aruan atau Sisi, gadis berdarah batak yang sudah menjadi sahabat Ririn sejak sekolah dasar.
"Kontrol please."
"Cempreng amat elah."
"Berisik Si."
"Bacot."
"Gak kenal gue."
"Lebay."
Dan banyak cibiran lainnya yang dilontarkan teman sekelasnya atas kelakuan Sisi barusan. Sisi hanya nyengir sambil menatap teman sekelasnya dengan tatapan bersalah. Padahal setiap hari dia selalu bertemu dengan Ririn, setiap hari dia selalu menyambut Ririn dengan suara melengkingnya, dan setiap hari pula teman-teman sekelas mereka selalu memperingati Sisi tentang suaranya. Namun yang namanya kebiasaan memang susah dihilangkan, alhasil teman sekelas merekalah yang harus bersabar.
"Elo kalo mau gila-gilaan boleh aja, tapi jangan bawa-bawa gue juga dong." gerutu Ririn begitu tiba di bangkunya yang berada di sebelah Sisi.
"Kamu kok jahat sih sama aku, salah aku apa? Kalo begini, lebih baik kita putus." ucap Sisi yang melenceng dari topik dengan gaya dramatisnya. Ririn hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menahan diri untuk menjitak kepala Sisi.
"Sorry ya, gue masih waras, masih suci, masih berada di jalan yang lurus. Kalo mau cari pasangan lesbi, cari di lampu merah aja sana." balas Ririn. Sisi terkekeh dengan balasan Ririn.
"Kan gue kangen sama elo. Lo sih gak masuk 2 hari. Jadinya aku harus menanggung rasa rindu yang besar ini terhadapmu." Ririn mendelik ke arah Sisi. Ingin rasanya Ririn menabok kepala Sisi dengan kamus yang tebalnya sampai 20cm.
"Ya iyalah gue gak masuk. Sabtu-Minggu kan emang libur SISIII." Sisi malah semakin terkekeh. Memang hobi Sisi kalo bukan baca novel ya recokin Ririn.
"HELOW GUYS. I'M BACK"
"Emang gue peduli?"
"SABODO"
"Ni orang-orang napa bacot semua dah?"
"Gak nanya"
"Gak balik juga gapapa"
"GAK PERLU TERIAK-TERIAK JUGA KALI"
"Lah itu lo juga teriak Si," satu lagi orang yang kata orang lain keren. Tapi kalo penyakit alaynya kambuh, gak ada lagi yang lebih alay.
"Ah gue tahu, lo teriak-teriak biar dapat perhatian dari gue kan? Iya kan? Ngaku ajalah, gue juga tahu kalo gue emang ganteng pake banget." balas Rian. Salah satu most wanted cowok di sekolahnya yang kalo lagi absurd lebih absurd dari pada banci di lampu merah.
"Idih, apa-apaan lo. Ganteng? Iya kalo dilihat pake sedotan dari atas Monas." Sisi mendelik ke arahnya dengan muka geli. Ririn hanya terkekeh melihat kelakuan kedua sahabatnya yang tidak pernah akur sebelum cekcok kalau sudah ketemu.
"Heh, jangan berani gangguin pacar gue. Kalo mau gangguin orang, tuh ada Ririn." Rey menatap tajam pada Rian yang menggoda Sisi, pacarnya.
"Eh, ada neng cantik. Apa kabar neng? Udah lama gak ketemu, makin cantik aja." sesuai instruksi. Rian menggoda Ririn yang duduk di depannya. Ririn dan Sisi memang semeja. Sedangkan yang duduk di meja di belakang mereka adalah Rian dan Rey.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
972 kata.
Terakhir revisi 4 Juli 2019.
Publish 4 Juli 2019.
YOU ARE READING
BETWEEN US
Teen FictionKalian pasti berpikir anak orang kaya tentulah punya kehidupan yang lebih sempurna dari pada orang lain. Nyatanya tidak selalu seperti itu. Dia, Ririn, anak dari pengusaha yang sangat sukses. Kalau anak orang kaya lainnya mendapat uang yang banyak d...