HT - 0.1

5.5K 589 11
                                    

Felix terus menggerutu disepanjang jalan menuju tempat tujuan. Tangannya bahkan terus mengepal kuat ketika indera pendengarannya menangkap pembahasan buruk tentang sepakbola. Katanya, sepakbola sudah tidak lagi menjamin keamanan, keras, dan lainnya.

Walau Felix tak menampik, tapi nyatanya sepakbola modern yang berkembang saat ini sudah bisa dinikmati oleh berbagai kalangan, tua maupun muda. Sudut stadion di masa sekarang juga mulai mempertontonkan koreografi yang cantik. Tidak ada lagi asap dari flare, hand strobo, smoke stick, dan sejenisnya. Hanya ada keindahan koreo 3D dari para suporter yang datang untuk mendukung tim kesayangannya tersebut.

Berbagai kalimat mengjengkelkan tentang sepakbola tadi bahkan terus terngiang dalam telinga Felix. Dan ia berjanji akan meluapkan kekesalannya itu pada seseorang yang akan ditemuinya nanti.

Sepuluh menit berlalu, jarak antara apartemen Felix dan tempat janji temunya memang tidak terlalu banyak memakan waktu. Kini dirinya tengah berdiri tepat diambang pintu sebuah kedai, kedua netranya terus mengitari setiap sudut ruangan. Mencari seseorang yang mengajaknya bertemu ditempat ini. Telat 5 menit, mungkin orang itu sudah duduk nyaman dikursinya dengan secangkir kopi. Pikir Felix.

"Felix!"

Felix menoleh pada sumber suara. Mengangguk kecil, lalu membawa kakinya melangkah untuk menghampiri orang tersebut.

Masih dengan raut wajah yang terlihat suram, ia membanting tubuhnya untuk duduk di salah satu kursi yang ada. Berdecak sebal dihapan seseorang yang tadi ia cari.

"Kenapa sih? Mau ketemu gue masa bawa muka kusut kayak gitu?" Tanya seseorang yang kini tepat berada dihadapan Felix.

Felix menghela nafas kasar.

"Gue kesel kak, masa katanya sepakbola udah gak aman?! Ribut sana-sini, rasis, belum lagi soal nyinyir di sosmed." Kali ini Felix menggerutu pada lawan bicaranya.

"Tapi emang bener, kan?"

Felix mendecih tak suka, orang yang ada di hadapannya ini terlalu realistis.

"Kita beda alam, sih, ya kak? lo di lapangan, gue di tribun. Lo objeknya, gue penikmatnya. Jadi lo gak bisa ngerasain apa yang penikmat seperti gue rasain."

Changbin, lawan bicara Felix, itu tertawa. Melihat Felix meluapkan segala kekesalannya merupakan hal menyenangkan bagi dirinya. Menurutnya, Felix dengan wajah yang memerah, tangan mengepal kuat, serta mulut yang tak berhenti berceloteh, adalah hiburan tersendiri bagi diri Changbin.

"Kok malah ketawa sih?!"

Changbin menarik nafas sebentar. Berusaha menetralkan kembali dirinya setelah tertawa.

"Kenapa suka heboh banget kalo udah bahas sepakbola, hm? Gue yang pemainnya aja cuek kok sama omongan orang diluar sana?" Balas Changbin acuh.

Felix kesal, sifat Changbin yang seperti ini tak pernah hilang sejak pertama kali mereka saling mengenal.

"Kak, Gue juga elemen dari sepakbola. Tim lo kalo gak ada suporternya mau dapet pemasukan dari mana sih?!" Sungut Felix. Ia memukul ringan kening Changbin.

"Sponsor, mungkin?" Sahut Changbin seadanya.

Hari ini Felix libur bekerja, dan Changbin yang diberi jatah libur 1 hari oleh manajer tim sebelum kembali terbang ke luar kota untuk mengikutin sebuah turnamen tahunan.

Kini keduanya tengah berada di sebuah kedai roti. Menikmati sepotong roti bakar, dan secangkir kopi hangat merupakan hal favorit bagi Changbin dan Felix. Terlebih di cuaca dingin seperti saat ini. Hujan terus turun sejak kemarin malam, dan sepertinya belum ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat.

Felix merengut mendengar jawaban yang tadi Changbin lontarkan, ia memalingkan wajahnya pada jendela besar yang ada disamping kirinya. Rasanya memandang bulir air yang jatuh dari langit lebih menyenangkan ketimbang melihat wajah menjengkelkan Changbin saat ini.

Changbin kembali tertawa.

"Gini, disini bukan cuma lo yang merasa gak nyaman karena ucapan beberapa oknum diluar sana yang menyudutkan sepakbola. Ada gue, terlebih gue pemainnya."

Changbin berhenti sejenak. Menyesap kopinya yang belum sempat ia sentuh sejak disajikan. Menatap sekilas Felix yang masih bergeming.

"Kadang gue juga kayak lo, Fel. Gue kesel, gue pengen bilang ke mereka kalo sepakbola yang sekarang jauh lebih aman, dan mereka gak perlu takut buat dateng ke stadion." Lanjut Changbin.

"Sampe sini paham, kan?"

Felix mengangguk.

"Jadi lo gak perlu kepancing sama omongan mereka. Bisa jadi mereka beda dari lo, mungkin? Mereka bukan penikmat sepakbola kayak lo, jadi mereka cuma bisa ambil kesimpulan dari satu sisi."

Felix akui, setiap kalimat yang keluar dari mulut Changbin adalah kalimat penenang bagi dirinya.

Changbin menggeram ringan, ia bawa tangannya untuk mengusak lembut rambut Felix. Anak kucing seperti Felix ini, jika sedang kesal atau marah, memang harus diberikan service terbaik. Mengusak rambut adalah contoh kecilnya.

"Sorry kak." Sesalnya. Ia sadar, jika sepakbola bukan hanya miliknya. Ada orang lain juga yang terlibat, terlalu kekanakan jika ia marah hanya karena kegemerannya dipandang remeh oleh mereka.

Changbin tersenyum, kali ini ia menjawil hidung kecil Felix, gemas. "Gak apa-apa. Gue selalu suka setiap kita ada waktu temu gini, lo jadi yang paling bawel bahas bola."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✔] Half Time ;changlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang