SATU - Two Hours

6 0 0
                                    




"Yang kamu omongin itu bener, selama di Bali aku emang nggak sendiri. Aku punya yang lain dan kami mau nikah, jadi aku nggak bisa lanjutin hubungan ini. Kita putus aja ya, Lia."

Tidak ada permohonan maaf yang terselip disana, jangankan permohonan maaf raut wajahnya pun sama sekali tidak menunjukkan mimik rasa bersalah. Kalimatnya begitu jelas, sampai Anye merasa bahwa hatinya dihujami puluhan anak panah.

"Oke." Jawab Anye yang sebenarnya sudah kehabisan kata-kata.

Anye menatap pria itu sekali lagi dengan tatapan nanar, berharap seorang yang sudah menemani hari-harinya selama lima tahun terakhir ini menarik kembali semua perkataanya. Pria itu berdeham, ia memeriksa jam tangannya.

"Aku harus pergi,Lia. Aku nggak bakal maksa kamu buat dateng ke acaraku nanti, tapi aku harap kamu bisa doain yang terbaik buat kami." Ia memakai kembali mantel hitamnya, merapikan sedikit penampilannya lalu beranjak pergi dari hadapan Anye.

Anye masih memandang lurus kursi dihadapannya, saat ini dikepalanya terlintas banyak hal. Ia masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Jadi kita putus?" Gumamnya sendiri. Bagaimana bisa hubungan yang terjalin selama lima tahun berakhir dengan amat sangat mudah?

Anye tidak habis pikir, pria itu sama sekali tidak mengkhawatirkannya, ia sama sekali tidak mau mempedulikan perasaannya. Bahkan untuk sekadar mengucapkan sampai jumpa, jaga diri baik-baik pun tidak ada.

Anye manyandarkan punggungnya, tangannya masih menggenggam cangkir kramik berisi kopi yang sekarang sudah dingin. Tidak ada air mata yang keluar, hanya ada perasaan sakit dihatinya yang sulit diungkapkan.

Tiba-tiba saja hujan turun, padahal ramalan cuaca di televisi tadi pagi mengatakan bahwa hari ini kemungkinan besar langit akan cerah sampai sore. Anye mengalihkan pandangannya keluar jendela, ia memperhatikan tetesan air hujan yang turun semakin deras sambil berpikir bahwa mungkin air hujan ini menggantikan makna air mata yang tidak bisa ia keluarkan dari kedua matanya.


"Pas banget ya Mbak, hujannya turun waktu Mbak lagi patah hati." Suara berat itu memecah lamunan Anye.

"Maaf?" tanya Anye sambil menatap pemuda yang entah sejak kapan sudah mengisi kursi kosong dihadapannya itu.

"Mbak sendirian kan? Daripada ngelamun mending saya temenin." Ucapnya lalu tersenyum,sukses membuat Anye terpaku melihat senyuman lebar yang menenggelamkan kedua matanya itu.

"Tapi saya mau pulang." Jawab Anye hendak membereskan barang-barangnya yang tergeletak di atas meja.

Pemuda itu menatap bingung, "Tapi diluar kan hujan Mbak, apalagi Mbak lagi patah hati."

Anye menghentikan pergerakannya, Apa hubungannya? Darimana dia tahu kalau Anye memang sedang patah hati?

"Tenang Mbak saya bukan cenayang, tapi daritadi saya liat Mbak ngelamun terus, biasanya orang yang ngelamun sambil liatin hujan pasti lagi patah hati. Hehe."

Lagi-lagi Anye terkesima.Pemuda dihadapannya itu.. entah mengapa senyumnya..

"Saya ganggu ya?" Tanya pemuda itu menyadari Anye yang sejak tadi hanya diam memandangnya.

"Enggak ko." Jawab Anye kembali bersandar pada kursi. "Kalo gitu kita kenalan dulu," pemuda itu mengulurkan tangannya pada Anye, sedetik dua detik Anye ragu tapi kemudian ia memutuskan untuk menerima jabat tangannya,

"Anyelir Aulia."

"Tapi jangan panggil Aul, apalagi Lia. Panggil Anye aja."

Pemuda itu mengangguk, " Oke Mb—"

Every Single LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang