Lamat-lamat kutimbun kenangan yang pernah kita tumbuh-rawatkan, mengubur semua dalam rongsokan kata, dan tak lupa melengkapinya dengan nisan bertuliskan:
"aku, antara, kau.
bukan kita".Bukan perkara sederhana untukku. Kau tahu? Semakin aku menimbunnya, semakin pula ia menjulang tinggi, seakan aku menimbunnya dengan pupuk. Di antara semua buah yang muncul dari pohon kenangan itu, ada satu yang muncul dengan cahaya mengkilap dan aroma manis lembut, yang menggodaku untuk mencicipinya kembali.
Ingatkah kau? Kali pertama aku mengajakmu ke pantai Kuta saat itu,
"Untuk apa?" tanyamu.
"Lihat saja nanti" kataku.
Tentu saja kau akan bertanya begitu, asing bagimu bila harus ke pantai pukul 9 malam. Gelap dan sepi kah yang kau bayangkan waktu itu?Sepanjang jalan tanya dari mulut manismu tak ada habisnya, perihal apa dan mengapa harus ke pantai jam segini, aku, ya, diam saja. Nanti kamu juga tahu. Setibanya di pantai pun, tak hentinya kau bertanya.
Tanganmu kutarik ke tempat acak di pantai itu, di mana saja, di bibir laut, namun tak basah, aku tidak mau kau masuk angin, lalu mengalami flatulensi, tidak.
Lucunya, kau masih terus saja bertanya, rautmu yang polos dan penuh tanya itu semakin membuatku ingin memelukmu erat tanpa lepas, menggemaskan. Aku duduk saja di pasir pantai, lalu menatapmu tanpa berkata, tentu saja kau mengerti maksudku, bahasa rasa? bukan, bahasa isyarat, kau duduk di sampingku.
"Sekarang apa?" tanyamu
Aku menengadah mata langit, seakan aku memikirkan sesuatu, aku tahu kau menatapku dengan matamu yang penuh harap dan tanya, menanti jawaban dari mulutku.. Ya, sudah, kujawab saja, ya :
"Biar kujelaskan, kamu diam, dengar ya, tanya lagi kalau aku sudah ijinkan bertanya, aku tau kamu penuh tanya. Aku biasa menghabiskan waktuku di tempat ini bila aku merasa merindu sesuatu dan seseorang, namun entah itu apa dan orang itu siapa, aku tidak pernah tahu, dan mungkin hal itu tidak pernah ada.
Kini, kau di sini, lihat, aku menyesap rasa yang dibawa angin malam, menatap mata langit yang indah dengan semburatnya, mendengarkan lantunan desir laut, mereka mengajakku —sekarang menjadi kita– untuk berkontemplasi, betapa alam tidak akan membiarkan kita merasa sepi dan sendiri. Sekarang pula, kau melengkapi alam itu."
Aku menoleh dan menatap matamu, kucoba tersenyum mengisyaratkan bahwa aku telah menjawab semua tanya di benakmu dan mengijinkanmu bertanya bila masih ingin. Kau tak lagi penuh tanya, senyum juga yang muncul di bibirmu.
Perlahan, kau memilih untuk menyandarkan tubuhmu di tubuhku, menjatuhkan kepalamu di pundakku.
"Aku ngomong banyak, kamu ngerti, kan?" tanyaku seloroh
"Ya, nggak lah! Hahaha" tanganmu melingkar di tanganku, tawamu memecah malam.Lihat sekarang, malam itu tak lagi ada, dia pergi denganmu, malam itu tak lagi mengisi sepi dan sendiriku.
Tenang lah, kau, kasihku.fla.tu.len.si /flatulènsi/ : peristiwa keluarnya gas yang biasa disebut kentut atau disebut juga buang angin.
kon.tem.pla.si /kontèmplasi/ : renungan dan sebagainya dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh