Bandung?
Hal pertama yang kupikirkan ketika mendengar nama kota ini adalah segar. Udaranya yang sejuk, orang-orangnya yang ramah, makanannya yang nikmat, dan tentu saja senyummu yang manis.
Masih tergambar jelas wajah panikmu kala itu, ketika secara tidak sengaja kau menabrakku, sehingga jus alpukat yang tadinya ada di genggamanku sudah menyebar di tangan dan bajumu. Tentu saja, aku juga terkejut, sempat aku akan memaki mengingat jus itu adalah satu-satunya pelepas dahaga yang kupunya, yang kudapat setelah kebingungan karna tetehnya bilang "mangga" tapi dia kasih aku jus alpukat. Namun, kuurung niatku untuk memakimu, melihat wajahmu yang panik campur takut.
Berulang kali kata maaf kau lontarkan, matamu mulai berkaca-kaca, gegas kuambilkan sapu tanganku, lalu mengisyaratkan agar kau bersihkan jus alpukat di tangan dan bajumu. Entah kenapa, kau berlari begitu saja mengambil sapu tanganku.
Kau meninggalkanku dengan rasa dahaga dan bingung karena kelakuanmu yang berlari begitu saja. Sejurus kemudian, aku menyadari betapa lucunya tingkahmu itu, aku mengingat ekspresimu sejak saat itu sampai kemudian kau memutuskan untuk berlari, aku mereka ulang detil-detil mimik wajahmu, seakan aku dan kau sudah kenal sejak lama.
Tidak satu pun malam yang aku lalui di kota ini tanpa memikirkanmu. Menerka siapakah dirimu? Apa yang sedang kau lakukan saat ini? Dan masih banyak tanya lainnya yang mengelilingi benakku tentangmu, tapi ada satu tanya yang tidak kalah pentingnya yang hendak kutanyakan padamu, bagaimana nasib sapu tanganku di tanganmu? Sebab sapu tangan itu memiliki nilai yang begitu dalam bagiku, bila ingin kau tahu.
Berulang kali aku mencoba melintas dari tempat yang sama ketika kau menabrakku, dengan jam yang sama, tapi pakaian yang kukenakan tidak sama, kok, aku kan mandi, dan ganti baju. Berharap aku akan melihatmu lagi, barang kali untuk menanyakan sapu tanganku dan bila diijinkan untuk menanyakan banyak perihal dirimu. Namun, tak sekali pun aku melihatmu, mungkin semesta hanya mengijinkan kita untuk bertemu kali itu saja.
Hari berlalu terasa begitu cepat, hingga hari kepulanganku tiba, aku akan meninggalkan Bandung, lagi. Hari ini aku memilih naik kereta ke Jakarta karna membayangkan macetnya jalanan Bandung-Jakarta saja sudah cukup bagiku untuk mengurungkan niat membeli tiket bis.
Ini adalah kali pertama aku naik kereta, sendiri pula. Aku sedikit kebingungan, malu bertanya juga, payah, hingga aku hanya celingak-celinguk melihat papan pengumuman dan menunggu panggilan untuk penumpang kereta parahyangan, kereta yang akan membawaku pulang dari Bandung, kota yang mengenalkanku atau mungkin lebih tepatnya memberitahuku bagaimana rasanya mencinta tanpa mengenal siapa.
Panggilan itu tiba, panggilan untuk calon penumpang kereta Parahyangan tujuan Jakarta, yang akan mengantarkanku kembali pulang ke kotaku, Jakarta. Aku bergegas merapihkan barang bawaanku, kupastikan barangku tidak ada yang ketinggalan, lalu membawanya naik ke kereta.
Lirik kanan dan kiri, mencari tempatku akan menikmati perjalanan pertamaku dalam kereta. Wajahmu yg panik ketika itu, kelihatan lebih teduh saat ini, aku menemukanmu tepat dengan nomor sesuai tertera di tiketku. Mungkin, wajah panikmu kala itu kini berpindah jadi milikku.
Senyummu merekah, "Hai", menenangkanku. Mungkin alam sedang bercanda denganku hari ini.