Langkahku terburu hendak keluar dari kereta yang membawaku ke tempat kita akan bertemu. Selepas berhasil dari kerumunan penumpang yang berlomba untuk keluar dan masuk sekaligus pagi itu. “Haaaa! Lega!”, rasanya seperti baru keluar dari kotak pikiran yang begitu sempit. Hahaha. Aku celingak-celinguk mencari sosok mungil dan menggemaskan yang berani-beraninya membuatku menahan rindu.
“Ah! Itu dia!” seruku dalam hati melihatmu yang sedang duduk di salah satu bangku besi terpisah dengan manusia lain dengan hoodie kebesaran yang entah kenapa membuatmu semakin lucu. Aku berjalan perlahan, maksud ingin mengejutkanmu. Perlahan langkahku terhenti, melihatmu merunduk sunyi, dingin rasanya. Tak biasanya kau merunduk begitu, sosok yang biasanya begitu ceria.
“Duaar!” mengagetkanmu.
Kau terdiam…
Hening…
Aku mencoba meraih tanganmu, maksud ingin menggenggam. Lihat, bapak-bapak berkumis tebal dengan rokok di mulutnya itu menatapku, mungkin dia mengira aku sedang menggodamu atau mungkin melakukan hal tidak senonoh padamu, atau maukah kau sependapat denganku bahwa dia sedang mentapaku karna berpikir betapa beruntungnya aku memiliki gadis yang menggemaskan sepertimu? Ya, sepakat! Hahaha
Kau menarik tanganku ke pipimu, hangat, tapi ada sesuatu yang berbeda, rasanya basah. Kau menangis? Ada apa? Apa sebelum aku datang ada pria lain yang menggodamu? Tolong jangan katakan itu, bisa saja aku murka.
“Kenapa?” hati-hati aku bertanya, mungkin kau latah? Tidak mungkin, aku sudah lama mengenalmu.
Suara sesenggukan terdengar, tanganku mulai basah. Aku mencoba meraih kepalamu dan mengusapnya dengan tanganku satunya. Air matamu semakin deras mengalir. Aku sedikit panik, aku takut bapak-bapak berkumis tebal itu menggunakan ini sebagai kesempatan untuk merebutmu dariku. Tidak. Jangan sampai. Kau menarikku duduk di sampingmu, lalu membenamkan wajahmu di dadaku, kau memelukku erat.
“Ada apa?” tanyaku hati-hati, mencoba menenangkanmu dengan mengusap lembut rambutmu. Tangismu mulai reda, sedikit hening.
“Telat” katamu pelan. Aku kaget. Mati aku. Jantungku hampir copot. Bagaimana mungkin, kita tidak pernah melakukan hal seperti itu. “Hah? Gimana? Telat?” tanyaku panik. Bukannya berhasil mengejutkanmu, malah aku yang kaget hampir mati hanya dengan satu kata dari bibirmu yang begitu indah itu.
“Kamu terlambat, sudah satu jam aku menunggu”. Astagaaaaa… ada rasa lega dan cemas sekaligus. Lega karna dugaanku ternyata salah dan cemas karna membuatmu menunggu lama lalu kecewa. “Maaf, ya.” Hanya itu yang dapat kukatakan.
“Hehehe… kamu udah di sini, ayo jalan!” kau kembali begitu ceria, menatapku dalam dengan ekspresi yang begitu lugu seakan tangismu tadi tidak lagi berarti. Entah bagaimana hatimu dibentuk, untuk kesekian kalinya, kau merebut hatiku.
St. Cawang, lupa tepatnya kapan.