Sudah tiga hari sejak mengetahui bahwa orang yang ia kagumi sendiri mengalami keguguran di babak penyisihan untuk perlombaan internasional di Singapura, Namara masih termenung karena astaga rasa sedih yang terpancarkan dari mata orang itu begitu mempengaruhi suasana hatinya.
Bahkan, setelah berbelanja makanan ringan di minimarket bawah apartment-nya, Namara masih menekuk wajahnya. Bolak-balik ia mengecek media sosial orang-yang-ia-kagumi lewat ponselnya, namun tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Ia kemudian berjalan dengan wajah suntuknya, menenteng tas kanvas berisi makanan ringannya untuk kembali ke habitat asal. Sampai matanya menangkap sesosok manusia yang begitu menarik perhatiannya, Namara ingin mengutuk dirinya sendiri karena bisa-bisanya lupa membawa kacamata sehingga dengan jarak yang tidak begitu dekat itu kurang membuatnya dapat melihat dengan jelas.
Laki-laki itu berjalan memasuki lift¸Namara mengikutinya dari jauh. Ketika lift tersebut berhenti di angka paling atas, yang mana merupakan bagian rooftop gedung—yang selama ini menjadi tempat tinggalnya pun membuat Namara segera menyusul untuk memenuhi hasrat keingin tahuannya.
Sesampainya pada lantai yang dituju, Namara menolehkan kepalanya ke sana kemari mencari laki-laki yang ia ikuti, namun hasilnya nihil. Akhirnya, Namara memutuskan untuk menaiki tangga yang terhubung dengan pintu masuk rooftop.
Laki-laki dengan headband yang masih setia melingkari kepalanya itu menghela nafasnya panjang, ia merentangkan tangannya menyilahkan udara malam menusuk kulitnya sembari menutup mata. Langkahnya sudah berada pada ujung lantai pembatas gedung, kemudian begitu ia ingin menyelesaikan langkahnya, ia pun menoleh pada samping kirinya karena merasa ada hawa yang sangat aneh di sana.
"Ngapain lo?!" tanya laki-laki dengan headband yang memiliki ukiran kecil nama Dewangga, sembari menoleh pada Namara dengan tatapan horor. Dewangga pun memundurkan badannya sambil menarik lengan Namara yang ternyata mengikuti aktivitasnya.
Namara menatap Dewangga dengan lekat, kemudian menerjap, "ikutan."
"Ikutan? Lo kira mati itu main-main, hah?!" Ternyata emosi laki-laki itu belum lumpuh seutuhnya, emosinya masih bergumul di dalam hatinya.
"Dari pada gue jadi saksi atas bunuh diri lo, mending gue ikut mati juga biar aman dari media massa."
"Lo... bener-bener, ya!"
"Gue serius."Laki-laki di depannya itu malah berdecak, "gue gak minta lo... yang bahkan gak gue kenal untuk ngikutin gue sampe sini."
"Gue juga gak minta lo ke rooftop gedung orang lain."
Dewangga kalah, ada benarnya ia menyusup di gedung orang lain yang bahkan tidak ia sewa untuk ditinggali. Ia hanya meminjam atap gedung tingkat ini untuk dijadikannya sebagai penyebabnya mengakhiri semuanya.
"Gue serius, ayo?" ajak Namara dengan tenang, perempuan dengan gaun tidur berwarna putih polos itu menatap Dewangga tanpa ada rasa bersalah atau pun terkejut atas keinginan orang asing yang ingin mengakhiri hidupnya di depan mata.
"Apaan, sih! Gak usah sok peduli! Gue yang mau mati, kok lo ikut campur?"
Protes dari Dewangga hanya disambut senyuman mengejek dari Namara, perempuan itu justru malah menyelipkan rambutnya yang terbang karena angin malam dengan santai. "Gue gak ikut campur, gue juga gak ngelarang lo, kok."
Dewangga terdiam, membenarkan ucapan Namara.
"Itu hak lo. Lo mau mati bunuh diri di sini sekarang juga, gak ada yang ngelarang," ucap Namara pada Dewangga dengan nada yang meyakinkan, bahkan perempuan itu terlihat sangat tenang berbicara dengan orang asing yang bisa saja berbuat hal jahat padanya, "lo mau loncat sekarang pun, silahkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
di Tulang Belikatmu
Teen FictionKetenaran adalah suatu hal yang didambakan oleh Dewangga, tentunya dengan faktor prestasinya sendiri. Hal kecil yang telah ia raih--dengan perjuangan, ternyata tidak menimbulkan hal positif padanya. Kemudian, dengan emosi yang kalut serta pikiran ya...