"Kamu nih kapan sih, Cha, mau menikah? Nunggu bapak atau ibu mati dulu, hah?"
Pertanyaan bapak membuatku bangun dari dudukku. Dengan malas aku berjalan ke arah kamar mandi dengan handuk yang sudah mengalung di leherku sejak sejam tadi. Kenapa sih orang tua selalu bertanya seperti itu? Apa nggak ada pertanyaan lain yang lebih berfaedahkah?
Menikah? Hahaha. Menikah itu untuk yang sudah punya pasangan, siap mental, fisik, keuangan, dan keperluan lainnya. Lah aku? Walaupun sudah siap mental, fisik dan keuangan kalau jodohnya belum datang, mau menikah sama siapa? Tuyul piaraan tetangga sebelah? Aneh aja.
"Pak, mbok ya sudah jangan tanya ke Echa tentang pernikahan terus. Nanti kalau sudah saatnya pasti ketemu juga sama jodohnya."
"Bu, tapi Echa ini sudah mapan, sudah sukses, sudah berpendidikan tinggi pula, dia sudah dewasa, umurnya saja sudah dua puluh empat tahun, mau umur berapa dia menikah, hah?"
Aku menghembuskan nafas dengan kasar mendengar dari dalam kamar mandi debat antara bapak dan ibu yang terdengar samar-samar. Orang tua memang mau yang terbaik untuk anaknya. Tapi untuk saat ini biarkan aku memilih jalanku sendiri untuk menentukan siapa jodohku kelak, Pak, Bu.
•••
Namaku Reisha Indrayani. Nama panggilanku Echa. Nggak tahu siapa awal mula yang memanggilku dengan sebutan Echa. Mungkin bapak, bisa juga ibu, bisa juga kakak, bisa juga teman-teman. Ya nggak tahu siapa, aku kan udah bilang, nggak tahu.
Sesuai kata bapak tadi, umurku masih tujuh belas tahun, sangat muda bukan? Iya dong, masih seumuran lah sama kalian. Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku laki-laki, namanya Satria Indra Pamungkas. Biasa ku panggil Bang Sat. Jangan ngegas ya kalian!!
Di umurku yang masih muda ini, aku sudah berhasil mendirikan sebuah Wedding Organizer sebagai aku CEO dan menurutku ini sebuah pencapaian yang luar biasa. Setelah bergulat selama lebih kurang tiga setengah tahun di universitas pilihan bapak, aku berhasil mendapatkan gelar D3 di jurusan Ilmu Komunikasi Bisnis.
Dari awal bapak sebenarnya nggak setuju aku kuliah dengan jurusan tersebut, bapak ingin aku jadi sarjana dan menjadi guru. Tapi aku sangat nggak berminat dan kekeuh dengan pendirianku untuk kuliah di jurusan tersebut. Dan akhirnya, bapak pun luluh setelah aku mampu membiayai kuliahku sendiri dengan kerja part time ku dan sekarang malah memiliki Wedding Organizer. Bapak pasti bangga, aku yakin.
Ngomong-ngomong soal pasangan, sekarang aku masih menjomblo, beberapa kali gagal sih dalam menjalani hubungan. Pernah ditinggal demi perempuan lain yang notabene lebih jelek daripada aku. Haha, menurut pandanganku sih gitu. Tapi, ya sudah, namanya juga bukan jodoh ya kan. Nggak bisa dipaksakan.
"Ngelamun aja. Mikirin apaan lo?" tanya Riri memecah lamunanku.
"Ah engga, Ri."
"Cha, minggu depan ada reunian. Dateng nggak?" tanyanya lagi sambil duduk di kursi di depanku.
"SMA kita?" tanyaku sambil menyeruput vanila latte yang sudah hampir habis.
"Ya iyalah masa SD kita. Dateng nggak?"
"Emmm... Yaa, liat sikon dulu lah besok, Ri. Gue juga nggak yakin bisa dateng jadi nggak bisa janji dulu deh sama lo."
Riri menatapku lalu mengelus punggung tangan kananku. Mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
"Cha."
"Gue tahu, udah stop jangan dibahas lagi, Ri." Aku menatap tajam mata Riri. Tersenyum, lalu beranjak dari tempat itu.
Terdengar Riri memanggil namaku berulang kali tapi tetap ku acuhkan. Aku nggak bisa, Ri, membahas hal itu lagi. Itu.. itu terlalu menyakitkan.
•••