Omongan orang boleh kasar. Wataknya boleh keras. Tapi itu bukan jaminan buat kamu bisa nge-judge bahwa dia tidak memiliki hati.
🍂
-Raxa Alam-
Xa_Bian
-----Andai aku bisa setabah hujan, walaupun berkali-kali dijatuhkan dari tempat yang begitu tinggi. Dia mampu kembali lagi ke awan, walau tau dia akan dijatuhkan lagi esok atau lusa.
Hujan tiba-tiba saja berhenti membasahi tubuhku, tapi tidak disekitar ku. Rintiknya masih cukup deras.
"Ngapain ujan-ujannan segala, biar gak ada yang tau ya kalau Lo lagi nangis?"
Masih dengan posisi berjongkok aku menolehkan kepalaku ke samping. Xa telah berdiri di sampingku dengan tangan kanan yang memegangi payung dan tangan sebelahnya lagi memegangi tas miliku. Pantas saja saat aku hendak mengambil tasku di kelas sudah tak ada. Ku kira Salsa yang telah mengambil tasku dan menyembunyikan nya di suatu tempat.
"Singkirkan payungnya, Xa!"
"Kalau nangis ya nangis aja gak usah sambil hujan-hujanan. Kalau sudah sakit baru tau rasa Lo!"
"Aku gak lagi nangis, Xa!" Aku memang gak lagi menangis. Air mataku sudah habis ku tumpahkan di ruangan musik. Kalau sudah menyangkut kegelapan aku paling takut. Lebih baik aku berada dibawah guyuran hujan yang deras dari pada harus berada dalam kegelapan.
"Terus lagi ngapain, nunggu disambar petir?"
"Aku lagi bersihin badan aku, kamu gak lihat bajuku penuh dengan tepung dan telur busuk!"
"Ya udah kan bisa dibersihin di toilet, sia-sia banget ya tuhan nyiptain Lo!"
"Maksud kamu apa?" Aku memandangi wajahnya dengan amarah. Siapa sebenarnya laki-laki yang berada di sampingku saat ini. Ucapannya itu sangat kasar, aku tak suka dengan orang yang bicara ngasal. Gak tau sopan santun.
"Ya sia-sia aja muka cantik tapi otaknya oon!"
"Lagian kamu ngapain sih disini, aku gak butuh belas kasihan dari kamu. Mau aku sakit atau engga. Itu urusan aku!"
"Ayo balik!"
"Aku gak mau pulang bareng orang kasar kayak kamu!"
"Keras kepala!"
"Bodo!"
"Pegang payungnya!" Xa memaksa tanganku untuk memegang gagang payungnya. Dia berjongkok di hadapanku dan menggendongku dengan paksa.
"Xa, turunin gak!" Ku pukul bahunya dengan tangan kiri ku. Tentu saja Xa tak akan merasakan pukulanku karena tangan kiri ku tak memiliki tenaga yang cukup untuk memukulnya dengan keras.
"Xa, aku mau turun!" Kali ini ku jewer telinganya sampai melintir.
"Aaahhh, sakit!" perlawanan ku berhasil membuat Xa menuruti keinginanku. Xa menurunkanku.
"Dasar babi!" Gerutu Xa sambil menyeret tangan kiri ku.
"Duduk di sini!" Xa memaksaku duduk di kursi halte. Dia mengeluarkan sebungkus tisu basah. Mengelap baju dan wajahku yang masih cemong dengan tepung yang bercampur dengan lengketnya telur busuk.
"Lo ini manusia apa patung? Punya tangan kan? Kalau dijahati lawan! Punya bibir kan? Kalau dikatain ya lawan! Jangan mau kalah! Punya kaki kan? Kalau gak mampu melawan, ya lari! Ini kepala ada otaknya kan? Dipake mikir bisa kan! Jangan diam aja, semut juga bakalan ngelawan kalau dirinya di injak-injak oleh orang kejam! Ini nih yang gak gue suka dari cewek, lemah. Apa-apa diduluin mewek!"
Kali ini Xa benar-benar keterlaluan, aku lebih baik dilempari tepung dan telur busuk oleh Salsa dan teman-temannya. Aku tak suka dimarahi dengan kata-kata kasar. Aku tak pernah dimarahi dengan kata-kata sekasar ini oleh ayah dan mama. Lalu siapa dia, berani memarahiku seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Xa-Bian
Fiksi RemajaSebuah rumah yang ingin aku jadikan tempat tinggal, ternyata mengharapkan penghuni lain untuk menjadi tuannya. Seseorang ingin menjadikanku rumah untuknya pulang, namun aku sudah terlanjur menunggu kehadiran sosok yang lain. Maka permintaanku pada T...