Kuberanikan diri untuk melangkah mendekati bangunan kokoh yang tampak mengintimidasi itu. Dinding-dindingnya yang menjulang tinggi tampak seperti tangan-tangan raksasa yang menghadang siapa saja untuk masuk.
Bukan hanya masuk, pikirku getir. Tapi juga keluar.
Sebenarnya aku enggan menuju ke sana. Bukan berarti aku tak pernah mampir ke tempat seperti ini. Pekerjaannku mengharuskanku sering-sering ke tempat seperti ini, dan meski sudah berkali-kali mampir, tetap saja aku tak merasa lebih baik. Biasanya motivasiku kemari untuk mencari kebenaran. Namun hari ini sedikit berbeda. Aku tak hanya akan sekedar mencari, tetapi harus menguaknya.
Petugas yang berjaga di depan pintu gerbang sama sekali tidak ramah. Mereka memang tak di-setting untuk beramah-tamah. Pria menanyaiku dengan berbagai macam pertanyaan seolah aku salah satu penghuni bangunan yang dijaganya. Hanya mengikuti prosedur, begitu alasannya. Kujawab semua pertanyaan itu dengan ogah-ogahan. Kutunjukan kartu identitasku, meski rupanya tak banyak membantu. Setelah nyaris selusin pertanyaan, akhirnya aku diizinkan masuk.
Seorang petugas lain menjemputku di dalam dan mengantarku menuju tujuanku. "Silakan," katanya agak ketus sambil membuka pintu ruangan di hadapan kami. "Anda punya waktu lima belas menit."
"Terima kasih."
Aku masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan khusus untukku tersebut. Ruangan itu nyaris kosong, hanya ada sebuah meja kayu kasar dan dua kursi yang agak reyot. Di salah satu kursi, duduk meringkuk sesosok wanita yang jika tidak dicermati baik-baik hanya akan terlihat seperti onggokan kain usang. Ketika aku masuk, wanita menatapku dengan pandangan curiga. Matanya merah dan mencelat. Tubuhnya luar biasa kurus sehingga tulang-tulangnya terlihat dengan jelas. Wanita itu hanya memakai sehelai jubah lusuh yang tak lebih bersih dari kain pel. Rambutnya awut-awutan dan mulai rontok perlahan. Wajahnya sepucat mayat.
Dia berseru dengan suara yang mirip patahan seratus batang korek api, "Siapa Anda?"
"Marsinah?"
Dia menjawab dengan tawa getir.
"Perkenalkan, saya Handoko. Saya pengacara Anda yang baru."
Marsinah memicing menatapku, seolah aku baru saja memakinya. "Pengacara?"
Kudekati kursi di seberang Marsinah dengan hati-hati. "Hampir setahun ini saya telah mempelajari kasus Anda." Kuletakkan tas kerjaku di atas meja. Marsinah masih bergeming. "Saya tertarik untuk mengambilnya. Saya tahu sudah ada beberapa pengacara lain yang mencoba menolong Anda, tapi mereka gagal."
Marsinah tertawa lagi, kali ini kedengaran lebih getir. "Menolong," katanya serak. "Bapak sama saja dengan mereka. Tak ada yang bisa menolong saya."
"Saya menemukan beberapa kejanggalan dalam kasus Anda dan jika Anda bersedia menjawab beberapa perta—"
"KELUAR!" Tiba-tiba wanita itu membentak berang. "KELUAR!"
"Bu Marsinah..." kataku berusaha sehati-hati mungkin, "Saya hanya ingin menolong Anda!"
Marsinah meludah ke lantai dan mencibir kepadaku. "Masih ada orang yang mau membantu saya, toh? Omong kosong! Semuanya mengatakan begitu. Tetapi apa yang mereka lakukan? Saya malah semakin lama tinggal di tempat ini!"
"Saya rasa mereka melewatkan beberapa fakta. Saya baru mempelajari lagi rekaman CCTV—"
Betapa terkejutnya aku karena kini wanita itu mulai menangis meraung-raung dengan sangat memilukan. Tangannya memukul-mukul meja. Kucoba menenangkannya meski aku sadar aku tak boleh menyentuhnya. Tapi Marsinah semakin menjadi-jadi, sepertinya dia nyaris gila karena dipenjara. Wanita mengambil gelas yang ada di atas meja, memecahkannya lalu memungut pecahan yang paling besar dan menghunusnya ke arahku. Para petugas yang menonton lewat kaca satu arah langsung menerobos masuk untuk menenangkan Marsinah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertuduh Terbunuh (CERPEN TAMAT)
Short StoryMarsinah, seorang pembantu rumah tangga, dituduh meracunin majikannya yang seorang gubernur sampai mati. Tapi Marsinah bukan pelakunya. Dia bisa saja tertuduh, tapi dia bukan pembunuh.