Mungkin ini akan terdengar aneh untuk dikatakan oleh laki-laki, tapi gue suka hujan.Gue suka melihat tetesan air jatuh menghapus jejak asap rokok yang gue hembuskan, terutama di teras belakang rumah. Suhu di hari berhujan yang dingin menyejukkan, tidak seperti dingin menusuk yang terjadi di tempat-tempat dengan iklim subtropis, juga merupakan suhu yang paling tepat untuk bisa menikmati tembakau. Lagipula air hujan dengan cepat menyamarkan asap rokok yang lebih beracun dari menghisap rokok itu sendiri, jadi tidak akan menyakiti orang lain.
Terutama, itu tidak akan menyakiti Gadis. Dia tidak pernah suka dengan asap rokok, tapi kalau gue merokok di hari hujan dia tidak keberatan untuk berada dekat gue karena menurutnya asap rokok itu jadi tidak terlalu tajam menusuk paru-parunya.
"Cuacanya jelek banget ya." Ujar Aryo sembari menghisap rokoknya.
Kemarin seharian penuh ibu kota tidak berhenti diguyur hujan. Lalu lintas macet, ocehan di mana-mana karena jalanan yang becek, resto-resto yang terisi penuh oleh orang-orang yang lebih memilih singgah dan mewaraskan pikiran di tempat hangat daripada bertarung bersama ribuan mahluk lain yang memperebutkan rute pulang dengan cepat walaupun mustahil. Hari ini pun Jakarta digelayuti awan gelap sejak pagi sampai siang, namun masih belum ada setetes air menyentuh tanah.
"Cuacanya kayak bangsat." Balas gue, menghembuskan asap rokok dengan keras.
The freaking black clouds looming over the city isnt only toying with people expectation, it also playing with my guts here. Seandainya hari ini hujan turun lagi, nyali gue yang kemarin masih belum terkumpul, nanti sore mungkin sudah cukup untuk gue memberanikan diri dan mencoba peruntungan dengan mendatangi kantor Gadis.
Gue akan menunggu perempuan itu di lobi gedung kantornya seperti yang biasa gue lakukan enam bulan yang lalu, seperti yang biasa selalu terjadi selama tiga tahun. Dengan satu cup teh hangat seperti biasa, seolah tidak terjadi pernah apa-apa. Dan akan begitu pula seharusnya, sampai bertahun kemudian atau sampai akhirnya gue berhasil membangun perusahaan gue sendiri, dan jam pulang kantor tidak lagi jadi salah satu perkara utama pasangan kekasih saat menunggu satu dan yang lain seperti yang terjadi saat kami masih pacaran.
"Well, hujan atau enggak, setidaknya lo enggak harus jemput Gadis di kantornya lagi kan sekarang." kata Aryo.
Gue langsung menatapnya tidak suka, "Well, at least you can shut up."
"Lo masih mau balikan sama dia?" Aryo terbelalak sambil menoleh dengan cepat ke gue. Kedua kakinya yang ia letakkan di besi beranda langsung turun.
"Udah enam bulan Van. Emangnya gak ada hal lebih menarik lain yang terjadi di hidup lo selain ngejar-ngejar Gadis?"
Banyak. Banyak yang terjadi selama enam bulan ke belakang, tapi tidak ada Gadis dalam satu pun hal itu.
"Apa sih yang lo lihat di cewek itu?" Teman gue yang tidak berguna itu masih mengoceh.
"Dia Gadis." Gue akhirnya berkata, memangkas semua kata-kata yang akan diucapkan oleh Aryo selanjutnya. Sebelum cowok itu menggali lubang kuburnya lebih dalam, gue mematikan sisa api di puntung rokok gue dan pergi meninggalkan dia sendirian, masih dengan tatapan tidak percaya itu.
Seolah-olah jawaban gue bahwa yang gue lihat dan gue kejar pada seorang Gadis adalah dirinya sendiri belum cukup jadi alasan untuk mempertahankan dia di sisi gue.
Tak pernah ada yang berkata bahwa mencoba adalah suatu kesalahan kan. Gadis mungkin tidak akan suka, tapi gue tidak ingin berhenti berusaha.
Gue selalu suka hujan, karena hujan selalu memberikan gue kesempatan bertemu dengannya.